Terjadi Perebutan Wilayah dengan Manusia, Bagaimana Revitalisasi Habitat Monyet Ekor Panjang?
Oleh M. Naufal Hafizh
Editor M. Naufal Hafizh
BANDUNG, itb.ac.id - Ahli ekologi dan spesialis mamalia satwa liar, Agung Ganthar Kusumanto, yang juga alumnus Program Studi Biologi, Institut Teknologi Bandung (ITB), angkat bicara mengenai kejadian turunnya monyet ekor panjang ke permukiman warga di Kota Bandung pada akhir Februari silam.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan hewan semi-cosmopolis yang dapat belajar dengan baik. Mereka cenderung memiliki keberanian untuk turun ke daerah manusia yang sering memberikan mereka makanan, seperti pada tempat wisata, perbatasan hutan, dan daerah dengan pengelolaan sampah organik yang kurang baik. Namun, jika berada di habitat aslinya, mereka cenderung jarang mendekati manusia.
Habitat dari monyet ekor panjang sebenarnya berada di sekitar riparian (tepian) sungai, bukan di hutan dalam. Banyak masyarakat yang berspekulasi bahwa monyet ekor panjang turun ke daerah perkotaan karena dugaan bencana yang akan terjadi.
Terkait hal ini, Agung Ganthar Kusumanto menjelaskan, “Kalau dibilang turun karena artinya di atas ada bencana, saya dan tim sedang berada di habitatnya dan satu-satunya permasalahan adalah cuaca. Hewan lain seperti lutung dan macan masih ada di sana,” ujarnya.
“Kemungkinan mereka turun karena faktor cuaca saja karena mereka tinggal di riparian sungai dengan intensitas hujan seperti sekarang, kawasan riparian sungai dengan kondisi hutan yang kurang bagus jadi banjir. Habitatnya terganggu karena kondisi hutannya sebagian sudah ada yang gundul sehingga air dari intensitas curah hujan yang tinggi ini tidak tertahan sebaik itu. Sungai-sungai yang menjadi habitat monyet ekor panjang ikut meluap,” ujarnya.
Habitat merupakan hal yang terutama bagi monyet ekor panjang. Hewan tersebut memiliki gaya makan seperti manusia. Apa yang dimakan oleh manusia, itu juga yang mereka makan. Hutan yang sudah semakin berkurang, wilayah riparian sungai yang banyak di bangun tempat wisata dan perkebunan, menjadi suatu masalah baru bagi habitat monyet ekor panjang. Perebutan wilayah dengan manusia menyebabkan monyet ekor panjang terpaksa pergi ke tempat lainnya, yaitu pemukiman warga dan daerah perkotaan.
Ketika banyak hewan yang habitatnya rusak, mereka cenderung kalah atau mati. Berbeda dengan monyet ekor panjang yang semi-cosmopolis, yang memungkinkan mereka memiliki alternatif lain untuk menyelamatkan diri dengan cara menghindar ke permukiman manusia.
“Mereka cepat sekali belajar dan memperhatikan bahwa manusia tidak sebegitu menakutkannya secara langsung, bahkan manusia juga takut pada mereka,” ujarnya.
Tindakan terhadap Habitat Monyet Ekor Panjang
Banyak tindak revitalisasi terhadap pemulihan kawasan aliran sungai, termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang sudah berlangsung beberapa tahun silam. Perbaikan daerah riparian dengan sungai-sungai kecil yang masuk ke dalam wilayah hutan pun sudah mendapatkan penanganan.
Agung menjelaskan bahwa sudah banyak tindakan yang dilakukan, namun kurang terekspos kepada publik. “Kalau dibilang sudah cukup untuk memperbaiki semua kerusakan, ya tentu belum,” tuturnya.
Kebijakan untuk mendukung upaya revitalisasi habitat monyet ekor panjang tentunya sudah ada, tetapi sebagian besar berhenti di tataran penentuan kebijakan. Ketika sudah turun ke tingkat tapak, banyak hal yang akhirnya tidak sinkron dengan kebijakan. “Padahal yang kita butuhkan adalah semuanya terhubung menjadi satu ekosistem yang saling mendukung,” ujar Agung.
Habitat monyet ekor panjang bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan jajarannya. Sebagai satu kesatuan Bangsa Indonesia, masyarakat harus turut andil dalam hal ini. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting. Jaga hutan, jaga lingkungan.
Reporter: Mely Anggrini (Meteorologi, 2022)