The First Bali International Conference on Banana Sukses Digelar ITB di Bali
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BALI, itb.ac.id -- Pisang merupakan komoditas pertanian utama yang produksinya berada di peringkat ke-4 setelah beras, gandum dan jagung di dunia. Sementara itu, Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai konsumen pisang. Asia tenggara, khususnya Indonesia bukan sekadar sentra keragaman pisang namun juga sumber penyebaran pisang-pisang diseluruh dunia.
Pada tahun 2015, BPS menyatakan bahwa pisang merupakan buah yang paling banyak diproduksi di Indonesia (7,29 juta ton) dan data statistik FAO menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-6 sebagai produsen. Akan tetapi total ekspor pisang Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan 5 besar eksportir pisang seperti Ekuador, Belgia, Kosta Rika, Guatemala, dan Kolombia, yaitu di peringkat ke-60.
Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan produksi dan nilai tambah pisang di Indonesia diperlukan kerjasama berbagai sektor ABGC (akademisi, bisnis, pemerintah/government dan komunitas) di tingkat nasional dan internasional. Inisiasi untuk meningkatkan kerjasama telah dilakukan khususnya oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Bali Internasional Riset Center for Banana (BIRCB).
Pada 12 September 2018 bertempat di Hotel Mercure, Nusa Dua, Bali, telah dilaksanakan “The First Bali International Conference on Banana: From Basics to Fields and Industries” yang dihadiri oleh perwakilan peneliti, pemerintah, industri serta komunitas dari 7 negara di dunia yaitu Amerika, Jepang, China, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Peserta dari Indonesia tercatat berasal dari berbagai institusi Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga Makasar.
Prof. Ketut Wikantika sebagai Ketua panitia konferensi dari ITB dan Direktur BIRCB menyatakan bahwa acara ini merupakan hasil kemitraan BIRCB, Remote Sensing & GIS Research Group ITB, Center for Remote Sensing (CRS-ITB), Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati-ITB, Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Universitas Udayana (UNUD), The Research Foundation of Indonesia Biogeography and Biodiversity (INABIG), dan Indonesian Young Researcher Forum (ForMIND) serta didukung oleh Balai Penelitian Buah Tropika, Kementerian Pertanian Indonesia, PT. ESRI Indonesia dan PT. Great Giant Food.
“Konferensi ini bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran gagasan diantara kalangan ABGC dan diharapkan dapat meningkatkan kolaborasi yang sinergis dalam memecahkan masalah terkait pisang dari hulu ke hilir,” katanya.
Dalam konferensi tersebut, menghadirkan pembicara utama yang merupakan pakar di bidangnya meliputi Prof. Xiangming Xiao (University of Oklahoma, USA), Prof. Eiichiro Fukusaki (Osaka University, Japan), Prof. Ryota Nagasawa (Tottori University, Japan), Dr. Agustin B. Molina, Jr (Bioversity International, Phillippines), Dr. Agus Sutanto (Indonesia Tropical Fruit Reserach Institute, Indonesia), Soetjipto (PT Great Giant Food, Indonesia), dan Dr. Fenny M. Dwivany (ITB, Indonesia).
Selain itu, hadir pula pembicara tamu yaitu Prof. Xu Linbing (Guangdong Academy of Agricultural Research, China), Dr. Sastia Prama Putri (Osaka University, Japan), Dr. Chih-Ping Chao (Taiwan Banana Research Institute, Taiwan), Dr. Achmad Istamar (CEO ESRI Indonesia, Indonesia), dan Dr. Karlia Meitha (INABIG, Indonesia).
Pada konferensi ini disajikan paparan dari beragam keilmuan seperti inderaja, biogeografi, metabolomik, taksonomi, teknologi pascapanen, material, big data, desain produk, agroteknologi, patologi tumbuhan, genetika dan bioteknologi molekuler, serta proses industri dari hulu ke hilir. Sudut pandang dan keahlian yang berbeda dapat menyokong kerangka kerja sama yang kuat sebagai landasan kemitraan untuk mendukung kemajuan dunia perpisangan.
“Teknologi GIS dan inderaja dapat diaplikasikan untuk memvisualisasikan kebun pisang seperti di Okinawa, setiap objek seperti jalan, pisang, vegetasi non-pisang, dan bangunan dapat dipetakan dengan beragam opsi resolusi dan fitur sehingga dapat memudahkan pengelolaan pisang,” ungkap Prof. Nagasawa.
Hanya sedikit kultivar yang tersedia di pasaran Indonesia bahkan untuk pasar Internasional hanya ada satu kultivar yang sustain yaitu Cavendish. Menurut ahli biodiversitas dan biogeografi pisang Indonesia, Dr. Agus Sutanto, mengatakan sudah terdapat lebih dari 300 aksesi kultivar pisang Indonesia yang teridentifikasi. Beberapa kultivar mulai sulit dijumpai seperti pisang khas Bali yaitu Biu Kayu. Selain itu, beliau juga menekankan pentingnya pengembangan kultivar melalui hibridisasi dan konservasi.
Pada keilmuan bidang studi omics khususnya metabolomik, Prof. Fukusaki dan Dr. Sastia menjabarkan bahwa teknologi terdepan seperti GC/MS dapat dimanfaatkan untuk menelaah jenis dan konsentrasi metabolit yang dihasilkan pisang pada tahap-tahap pematangan buah. ”Prospek ke depan yang mungkin dihasilkan adalah kit untuk standardisasi status buah setelah didapatkan biomarker yang cocok dengan ambang tertentu,” ujar Dr. Sastia.
Sementara itu, Dr. Fenny dari ITB mengungkapkan bahwa sinergi beragam keilmuan sangat penting dalam memperpanjang shelf-life pisang sehingga dapat mencegah kerugian ekonomi (food loss), misalnya dalam pengembangan edible biocoating nanokitosan dan fruit storage chamber.
Setelah serangkaian program dari keynote dan invited speaker, konferensi ini juga diikuti oleh workshop pisang yang bertajuk “From Cultivation to Postharvest” yang disampaikan oleh Dr. Agus Sutanto (ITFRI Indonesia - Introduction to Banana Cultivars and Cultivation), Dr. Rizkita R. Estyannti (SITH, ITB - Common Diseases of Banana and Handling Management), dan Ir. Ucu Rusdiyanto (ITFRI Indonesia - Banana Post Harvest Practice). Workshop tersebut tentunya dapat membuka cakrawala peserta dan memberikan arti lebih pisang mulai dari pengelolaan sampai hilirisasi produk.
Geliat Industri Pisang
Geliat industri pisang dunia dan fokus penanganan penyakit pisang khususnya Panama Disease (Layu Fusarium TR4) menjadi topik yang diangkat oleh Dr. Molina Jr. yang dikenal karena kontribusinya terhadap riset dan pengembangan pisang terutama penanganan hama dan penyakit. Dr. Molina Jr. mencontohkan betapa dahsyatnya penyebaran jamur Fusarium yang menyebabkan hancurnya perkebunan pisang di Amerika Tengah pada 1950-an dan digantikan dengan kultivar yang lebih resisten yaitu Cavendish.
Pertemuan dalam kerangka konferensi ini merupakan landasan menuju kolaborasi transdisiplin. Dorongan untuk kolaborasi juga turut disuarakan oleh Great Giant Food, Sutjipto untuk memecahkan berbagai masalah di industri buah terutama pisang, terkait penyakit, pasca panen, sosial budaya dan lain-lain.
Sementara itu, CEO ESRI Indonesia, Dr. Achmad Istamar untuk berbagi tentang teknologi ESRI seperti manajemen aset dan GIS yang dapat diterapkan untuk riset maupun industri. Adapun, Dr. Karlia Meitha (INABIG) yang menyerukan semangat kolaborasi konservasi biodiversitas dan biogeografi Indonesia dalam bentuk pelatihan, kegiatan, dan eksplorasi.
Peresmian Anturan Banana Smart Village (ABSV)
Implementasi nyata dari kegiatan kerjasama riset maupun pengabdian masyarakat tim ITB dengan pisang sebagai fokus ditandai dengan diresmikannya Anturan Banana Smart Village (ABSV) setelah acara konferensi selesai dilakukan. ABSV merupakan lahan pisang yang dikelola bersama-sama oleh Desa Anturan, Buleleng, Bali bersama-sama dengan ITB dan didukung oleh Balitbu-Kementerian Pertanian Indonesia.
Tujuan dibentuknya ABSV ini adalah untuk meningkatkan kapasitas produksi serta pemanfaatan pisang untuk menjadi produk turunan berbasis “zero waste” di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Hal ini mengingat Bali adalah konsumen pisang terbesar di Indonesia berdasarkan riset yang dilakukan Tim aliansi pisang Indonesia yang terdiri dari ABGC namun tidak dibarengi dengan kemampuan produksi. Bali memiliki keunikan dalam pemanfaatan pisang, selain digunakan sebagai bahan pangan, pisang juga dimanfaatkan untuk berbagai upacara keagamaan dan adat. ABSV merupakan prototype Banana Smart Village di Indonesia pertama yang akan menjadi rujukan untuk pembuatan banana smart village lainnya di wilayah Indonesia.
*Tulisan kiriman Prof. Ketut Wikantika
*Penulis: Sigit Nur Pratama, Slamet Pranyoto