Tim KRI ITB: Lagi-Lagi Berharap . . .
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Dua tim robotika ITB dinyatakan lolos tahap II seleksi Kontes Robot Indonesia (KRI) 2006: tim MAX-TRON dan tim The Blues. Kedua tim berasal dari Tim Robotika - Laboratorium Teknik Produksi, Program Studi Mesin ITB. Sampai Jumat (19/5) malam dikonfirmasi, keduanya dalam tahap penyempurnaan robot masing-masing dan uji coba.
Keduanya adalah dua dari tiga tim robotika ITB yang lolos seleksi proposal KRI 2006 pada bulan Februari silam. Pada seleksi tahap pertama ini dipilih 60 tim robotika dari perguruan-perguruan tinggi se-Indonesia.
Seleksi KRI tahap II dilakukan setelah para juri mengadakan visitasi ke masing-masing tim pada bulan Maret lalu. Visitasi dimaksudkan untuk mengevaluasi kemajuan pembuatan robot masing-masing tim. Dari 60 tim yang lolos pada seleksi tahap pertama, dieliminasi 20 tim melalui seleksi visitasi ini; menyisakan 40 tim yang pasti akan bertanding di ajang kontes robotik bergengsi ini.
Masing-masing tim membuat empat robot: satu robot manual (dikendalikan peserta) dan tiga robot otomatis. Total biaya yang hingga kini dihabiskan oleh kedua tim mencapai 15 juta. Rinciannya 12 juta dari Kantor Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan (WRM) dan tiga juta dari alumni Prodi Mesin ITB. "Sekarang (kami) udah nombokin lagi," tutur Yuda, ketua Tim The Blues, "kami berencana mau ngajuin dana lagi ke LPKM (WRM -red.)" Membuat sebuah robot memang tidak murah. Biaya pembuatan sebuah modul mikrokontroler bisa mencapai 300 ribu. "Itu baru satu modul. Gak mungkin kita hanya bawa satu modul untuk satu robot. Minimal bawa dua cadangan untuk masing-masing robot." Masih ada biaya untuk pembuatan rangka, sensor, motor, roda, modul elektronik dan struktur mekanik lain.
Contoh modul elektronik lain yg menghabiskan banyak biaya adalah modul H-Brige, yaitu modul dari mikrokontroler menuju aktuator motor. "H-Brige paling gak bawa lima per robot karena H-Brige itu modul yg paling sering jebol (sirkuitnya korslet -red.)," tutur Dhani ketua tim Robot Nusantara, wakil ITB di ajang KRI tahun lalu.
Lebih beruntung dari tahun lalu, wakil KRI tahun ini bisa melakukan uji coba robot di replika lapangan pertandingan. ITB, melalui WRM telah mengeluarkan lampu hijau penggunaan ruangan di Sasana Budaya Ganesha lantai 2. "Sebenarnya (dimensi) ruangannya hanya 7x13 meter. Padahal nanti saat KRI, (dimensi) lapangannya 13x13 meter," ungkap Budi, ketua tim MAX-TRON, "Gapapa. Setidaknya kita bakal maen setengah lapang. Gantian."
Kesulitan yang dihadapi tim KRI tahun ini memang tidak jauh berbeda dengan kesulitan tim KRI ITB tahun-tahun sebelumnya. Dalam lomba ini, money does matter. Budi mencontohkan, "Selama ini, tim KRI ITB menggunakan sensor yang dibeli di pasar dengan harga seratus ribuan (rupiah)" Dia kemudian mencontohkan tim robotika lain yang membeli sensor yang diimpor dari luar negri, dipesan via internet. "Kenampakan luarnya sama, tapi saat pertandingan dijamin sensor mereka akan lebih akurat dan reliabel. Tingkat erornya minim sekali," kata Budi, "Ini penting karena di lapangan (saat pertandingan), akan banyak noise. Contohnya, sensor line folower yang menggunakan sensor cahaya akan terganggu oleh lampu-lampu spotlight di lapangan pertandingan atau spotlight dari kamera stasiun TV peliput."
Tapi, saat ditanya benarkah uang menjadi kendala utama, kedua ketua tim menggelengkan kepala. Baik budi maupun Yuda setuju bahwa dukungan penuh dari komunitas ITB adalah prioritas harapan mereka. "Kita tu kurang orang," jawab Budi singkat. Membangun empat robot 'from stratch' bukanlah pekerjaan ringan bagi empat atau lima orang.
Pekerjaan memang berat karena lelah mengikuti KRI bukan sekedar lelah membangun empat robot; melainkan juga harus mengurusi hal non teknis. "Yang melelahkan lagi, kami harus mengajukan proposal lagi ke LPKM (WRM -red.) tiap butuh dana lagi. Artinya harus buat proposal lagi, harus ngedatengin mereka lagi," ungkap Budi, "Juga harus ngurusin peminjaman ruangan. Belum lagi ngurus pembuatan replika lapangan: beli karpet, masang (karpet), buat replika alat dan builder."
Harapan mereka masih sama dengan harapan tim-tim KRI ITB tahun-tahun sebelumnya: dukungan penuh dari ITB. Artinya pihak ITB. Dukungan dana memang penting tapi bukan segalanya. Bagi mereka kepedulian dari ITB adalah dambaan. Hal ini diakui oleh Dani yang sudah dua kali mengikuti KRI. Harapannya ITB benar-benar turun tangan mempersiapkan tim ini.
Budi lalu mencontohkan sebuah perguruan tinggi yang selalu langganan juara KRI. Di perguruan tinggi itu, seluruh sivitas turut membangun dan mengembangkan robot mereka. Tim inti yang akan benar-benar mewakili mereka dipilih secara formal oleh pihak perguruan tinggi. Seorang dosen khusus ditugaskan untuk mengkoordinir tim wakil KRI dan Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI) mereka. Dosen ini bertugas mengkoordinir pembuatan robot, membangun tim dan menjadi sumber wawasan serta pengalaman bagi tim mereka. Pihak rektorat perguruan tinggi itu memang mengeluarkan kebijakan yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga mendukung tim Robot mereka menjadi juara.
“Janganlah kita (tim KRI –red) yang ngurusin masalah lapangan,” tutur Budi, “Masalah dana hendaknya tidak perlu berpanjang-panjang birokrasinya. Melelahkan.” Selain masalah dana dan lapangan, dukungan ITB pun terwujud dari kebijakan ITB terhadap lomba ini. Hendaknya ada kebijakan langsung dari pimpinan ITB sehingga tim ITB terbantu. Selain kebijakan yang berhubungan dengan dana dan lapangan, bisa pula ITB menugaskan dosen khusus yang menangani ajang lomba ini. Bahkan dukungan dapat terwujud mulai dari hal sederhana seperti antar jemput ke tempat lomba, di Balairung Universitas Indonesia, Depok. “Tahun lalu, tim KRI dan KRCI ITB terpaksa menyarter mobil karena tidak ada jemputan dari ITB. Ironis, tim KRCI ITB ini meraih juara nasional.”
“KRI dan KRCI sudah menjadi ajang paling bergengsi bagi Perguruan Tinggi untuk unjuk gigi tentang hasil teknologi mereka, lho!” tutur Yudi, “Harusnya sebagai Perguruan Tinggi yang berbasis teknologi, ITB memberi dukungan jauh lebih dari yang sekarang.” Selama ini ITB memang tidak pernah meraih gelar juara dalam ajang KRI namun, ITB selalu menyabet gelar robot paling inovatif. Para “veteran” KRI pun mengakui bahwa banyak peserta perguruan tinggi lain kagum dengan robot ITB, utamanya karena desain robot dan mikrokontroler robot ITB.
“Dari sisi mahasiswa tidak usah ditanya lagi. Kami siap dan berpotensi juara,” tutur Dhani, “Sekarang pertanyaannya tinggal, bagaimana ITB membantu kami mewujudkan potensi itu. Kalo ITB memberi dukungan penuh dijamin ITB pasti akan langganan juara KRI.”