Tokoh-tokoh ITB: Mengawal Kemajuan Indonesia, ITB perlu Lebih Mandiri dan Kuat Dalam Lima Bidang
Oleh Bayu Septyo
Editor Bayu Septyo
BANDUNG, itb.ac.id – Gegap gempita maret segera berakhir. Menutup bulan kelahiran ITB, akan lebih lengkap rasanya bila dapat ikut menyimak pandangan tokoh-tokoh besar ITB. Guna menyediakan konten eksklusif, Kantor Berita ITB memanfaatkan kesempatan untuk mewawancara para tokoh tersebut yang kini masih aktif berkiprah untuk kampus ITB. Mereka diantaranya adalah Prof. Ir. Indratmo Sukarno, M.Sc, Ph.D (Ketua Senat Akademik), Ir. Betti Alisjahbana (Ketua Majelis Wali Amanat), dan Prof. Roos Akbar, M.Sc., Ph.D (Mantan Ketua Forum Guru Besar ITB).
Arah pengembangan untuk membangun ITB sebagai institusi yang mengedepankan kemandirian dan aspek komprehensif demikian juga diamini oleh Prof. Akbar. Ia mengungkapkan bahwa selama ini Forum Guru Besar ITB senantiasa mengusahakan terciptanya kekompakkan dalam menjalankan misi-misinya. Prof. Akbar menilai bahwa forum yang dipimpinnya kala menjabat dapat benar-benar mengoptimalkan kekuatan ITB sebagai institusi pendidikan yang memainkan peran besar dalam kemajuan bangsa ini. “Nah kita bayangkan, bagaimana jika semua guru besar itu ada didalam satu wadah. Mereka berdiskusi, mereka rapat, mereka menyampaikan pendapat, itu luar biasa sekali untuk riset-riset bagi Indonesia, saya mengatakan dahsyat itu, karena gak ada satupun di ITB atau dimanapun (selain di FGB, red), para gubes itu bisa seperti itu,” ujar Prof. Akbar yang bulan ini telah mengakhiri masa jabatannya. Selain itu, hal penting lain yang ditekankan oleh Prof. Akbar adalah inisiatif ITB untuk membentuk regulasi yang kondusif untuk mendukung kemajuan institusi pendidikan. Menurutnya, para akademisi tidak selamanya bergantung pada regulasi yang ada. Seringkali teknologi dapat tercipta dan hadir walaupun regulasi terkait belum ada dan mampu untuk mengakomodasi dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu, diperlukan keberanian untuk bersikap kritis dalam mengadaptasi teknologi kedalam regulasi yang ada saat ini, bukan justru terkukung menolak kemajuan teknologi atas dasar regulasi yang ada. Melihat semua capaian yang harus ITB raih kedepan, ketiga tokoh benar-benar berharap agar ITB dapat terus mengawal kemajuan bangsa Indonesia melalui inovasi-inovasi yang dihasilkan di tengah-tengah masyarakat.
Hal tersebut nampaknya berkaitan dengan komentar Ir. Betty. Menurutnya, dalam pandangan MWA yang selama ini mengawal kemajuan ITB dari berbagai bidang stakeholder, ITB dihadapkan dengan dilema deindustrialisasi yang terjadi dalam industri dalam negeri. “Dimana akibatnya penyerapan sumber daya manusia menjadi berkurang,” tukas Ir Betty. Hal tersebut memaksa kampus untuk menyediakan kompetensi tambahan agar lulusannya dapat menghasilkan inovasi dan bersaing secara mandiri. Tentu saja untuk dapat bertahan dalam lingkungan ekonomi masa depan Indonesia, selain unggul dalam bidangnya, setiap lulusan sarjana ITB dituntut agar dapat berpandangan secara lebih luas dan komprehensif dalam berkarya. Ia menambahkan, “jadi itu harapan kita, dan saya sangat mendukung adanya program Rektor agar ITB menjadi Entrepreneurial University dimana saya pikir didalamnya ITB dapat menjadi sebuah innovation ecosystem dimana seluruh unsur didalam kampus ini termasuk alumni dapat berkoordinasi dan berinteraksi dalam menyediakan solusi bagi masalah bangsa khususnya yang terkait dengan Teknologi Tingkat Tinggi”.
Hadirnya dua fokus baru untuk ITB dimaksudkan bukan tanpa sebab. Berdasarkan rilisan Kemenristekdikti, ITB memang masih memimpin sebagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Walaupun unggul dan kompetitif dalam tingkat pertumbuhan, namun masih terdapat evaluasi besar yang perlu ditangani. Pasalnya, masih terdapat tren bahwa inovasi-inovasi yang diciptakan belum sepenuhnya mampu hadir di tengah-tengah masyarakat. “Kami merasa ITB memiliki keunggulan dalam menghasilkan karya, tapi ada sesuatu yang hilang bahwa proses itu tidak sampai ke hilirnya,” tekan Prof Indratmo yang juga aktif sebagai Dosen Keilmuan Air di Prodi Teknik Sipil ITB. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut didominasi oleh faktor sosio-ekonomi seperti skema pendanaan, user experience, feedback, dan lain-lain yang menyebabkan suatu karya tidak mendapatkan kesempatan berkembang di masyarakat secara langsung. Karya berbasis teknologi seringkali menjadi hal yang terlihat rumit dan membutuhkan waktu serta proses panjang agar bisa diterima di masyarakat. Oleh karena itu, fakultas baru milik ITB nantinya diharapkan dapat menyertakan faktor-faktor yang kurang dipertimbangkan dalam menciptakan karya berbasis teknologi. Hal tersebut sekaligus diharapkan menguatkan karya yang dihasilkan agar kompetitif dalam bersaing untuk kemajuan industri tanah air.
Ketiga tokoh yang sempat diwawancara dalam minggu pertama bulan maret ITB ditanyai beberapa aspek mulai dari pencapaian ITB dalam masing-masing bidang hingga pandangan personal setiap tokoh terhadap hari lahirnya ITB yang secara tahunan diperingati pada tanggal 2 bulan ini. Menurut Prof Indratmo, perkembangan ITB yang sekaligus kini menjadi fokus bagi dirinya beserta jajaran Senat Akademik adalah mengejawantahkan secara lengkap lima aspek dasar bagi ITB yaitu Sains, Teknologi, Seni, lalu Sosial, dan Humaniora. Oleh karenanya, Ia memastikan bahwa tahun ini ITB dapat membuka Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora ITB guna memperkuat dua poin terakhir yang selama ini belum menjadi keunggulan ITB. “Nah, dua bidang terakhir inilah yang kini dalam momentum dies ke 58 ingin dideklarasi agar juga menjadi bagian dari fokus ITB sebagai perguruan tinggi berbasis teknologi,” ungkap Prof Indratmo.