Tsunami Anak Krakatau 2018: Menyediakan Tolak Ukur yang Dibutuhkan untuk Pemodelan Tsunami Secara Akurat

Oleh Adi Permana

Editor Asep Kurnia, S. Kom

Foto Gunung Krakatau tahun 2016 (Indonesia Nature Film Society)

BANDUNG, itb.ac.id – Pergerakan lempeng tektonik selain menyebabkan gempa juga menghasilkan zona subduksi yang lantas dapat memunculkan gunung berapi. Pertemuan beberapa lempeng tektonik dunia yang berakibat pada munculnya rantai gunung berapi ini dinamakan Cincin Api Pasifik.

Mengingat lokasinya yang berada di lintasan Cincin Api Pasifik, Indonesia harus siap menghadapi berbagai bahaya bencana alam seperti gunung meletus, gempa, dan tsunami. Indonesia memiliki 127 gunung berapi dan merupakan negara dengan gunung api aktif terbanyak di dunia.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia menyatakan jika ada 12 gunung berapi di Indonesia yang berpotensi mengakibatkan tsunami. Gunung berapi tersebut antara lain Anak Krakatau, Rinjani, Tambora, Rokatenda, Ile Werung-Hobal, Teon, Kie Besi, Gamalama, Gamkonora, Awu, Banua Wuhu, dan Ruang.

Tsunami Vulkanik

Dr. Mirzam Abdurrahman, dosen Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan, “Gunung yang terletak di tengah laut, seperti Gunung Anak Krakatau, memiliki potensi tinggi untuk mengakibatkan tsunami vulkanik. Tsunami vulkanik terjadi karena perubahan volume lautan secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi.”

Dr. Mirzam menyampaikan empat hal yang mungkin mengakibatkan tsunami vulkanik. Pertama, keruntuhan kolom air akibat letusan gunung berapi. Kedua, terbentuknya kaldera akibat letusan gunung berapi yang masif. Ketiga, longsornya material vulkanik. Empat, aliran piroklastik secara cepat dari lereng gunung pada saat letusan gunung berapi. Aliran piroklastik ini dapat mendorong air laut sehingga mengakibatkan gelombang yang kuat.

Penyebab pertama dan kedua seringkali menimbulkan tsunami dengan ketinggian ombak yang besar dan pada umumnya didahului oleh penurunan permukaan air laut. Sementara itu, tsunami yang diakibatkan oleh longsor dan aliran piroklastik menimbulkan tsunami dengan ketinggian ombak yang lebih kecil, namun, tsunami jenis ini dapat menjadi lebih berbahaya karena tidak didahului oleh penurunan permukaan air laut.

Tsunami Vulkanik Anak Krakatau pada Tahun 2018 di Selat Sunda

Tsunami vulkanik pada 22 Desember 2018 di Selat Sunda adalah tragedi yang tak terprediksi. Tapi mengapa? Tsunami terjadi tanpa didahului oleh gempa ataupun penurunan muka air laut.

Metode pengamatan gunung berapi di Indonesia saat ini hanya merekam aktivitas seismik dan sinyal-sinyal lain yang diakibatkan oleh kenaikan magma pada gunung. Akibatnya, bencana tsunami non-seismik di Selat Sunda pada 2018 tidak dapat dideteksi dengan metode yang kala itu dimiliki. Tidak adanya peringatan bahaya tsunami beberapa menit setelah gelombang pertama mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerusakan masif di daerah terdampak.

Apa yang Mengakibatkan Tsunami ini?

Tsunami vulkanik ini diakibatkan oleh keruntuhan tubuh barat Gunung Anak Krakatau yang bahkan membuat pulau Krakatau kehilangan lebih dari 50% massanya. Keruntuhan Anak Krakatau pada 2018 lalu adalah hasil dari proses destabilisasi yang telah terjadi sejak lama.

“Lokasi dan jangkauan dari keruntuhan tahun 2018 mungkin juga ditimbulkan oleh keadaan struktural dari margin kaldera, diskontinuitas struktural internal, dan lokasi dari ketidakstabilan sebelumnya. Sonar laut juga menunjukkan jika gunung Anak Krakatau berdiri melebar di atas tubuh dinding kaldera yang terbentuk pada 1883, kemungkinan mengakibatkan ketidakstabilan secara gravitasi.”

Jenis bencana gunung berapi seperti ini sangat sulit untuk diprediksi. “Jika kelongsoran skala besar terjadi di suatu area vulkanik adalah akibat dari instabilitas jangka panjang dan dapat terjadi tanpa adanya perubahan tipikal dari aktivitas magma gunung berapi, ini berarti fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya peringatan apapun,” tambahnya.

Tsunami yang terjadi akibat keruntuhan tersebut mengakibatkan ombak setinggi 80m di sekitar Gunung Anak Krakatau. Pada pesisir Banten dan Lampung, ketinggian ombak mencapai 13m. Tsunami ini mengakibatkan 437 korban jiwa, 14.059 korban luka-luka, dan 33.719 orang kehilangan tempat tinggal.

Bukan hanya itu, keruntuhan Gunung Anak Krakatau juga menimbulkan erupsi karena longsor yang terjadi mengakibatkan sistem magma kehilangan tekanan. Erupsi yang terjadi setelah adanya keruntuhan ini memuntahkan material vulkanik yang mengubur bekas longsoran.

Abdurrahman bekerja sama dengan berbagai institusi untuk meneliti keruntuhan tubuh Gunung Anak Krakatau. Studi ini telah dipublikasikan di jurnal saintifik Nature Communications dengan judul artikel “Submarine landslide megablocks show half of Anak Krakatau island failed on December 2nd, 2018.”

Penulis pertama dari penelitian ini, James E. Hunt, mengatakan “Detail dari rekonstruksi runtuhnya tubuh (Anak Krakatau) adalah kunci untuk memahami mekanisme, waktu, dan aspek-aspek timbulnya tsunami, yang mana esensial untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keruntuhan secara lebih baik dan meningkatkan ketanggapan pengamatan bahaya instabilitas gunung berapi global.”

Penelitian yang melibatkan 11 institusi ini tidak hanya mengungkap karakterisasi komponen subaerial dari keruntuhan, tetapi juga komponen bawah lautnya. “Data bawah laut memegang kunci dari pemahaman keruntuhan Anak Krakatau yang lebih akurat karena pengamatan deposit kelongsoran mampu memberikan metode pengukuran volume keruntuhan dan investigasi proses longsor yang independen,” kata Hunt, peneliti geosains bawah laut senior dari National Oceanographic Centre, UK.

Keruntuhan terjadi setelah beberapa bulan fase aktivitas erupsi yang cukup intens. “Pengamatan kami menunjukkan jika aktivitas ini menjadi pemicu keruntuhan karena peningkatan beban di tubuh bagian barat oleh lava dan material erupsi,” ucap Hunt. Dengan demikian, bidang kegagalan yang baru telah terbentuk setidaknya beberapa bulan sebelum keruntuhan terjadi.

Hasil pengamatan menunjukkan jika deposit didominasi oleh material berukuran besar dan angular dengan total volume deposit sebesar 0.214 km3. Material ini bergerak sejauh 1.5km dari Anak Krakatau dan naik setinggi 70m di atas dasar laut. Deposit longsor tersebut sekarang telah terkubur oleh material yang dikeluarkan selama erupsi. Oleh karena itu, survei kelongsoran dilakukan secepat mungkin sebelum material longsor terkubur oleh material erupsi setelahnya atau dipengaruhi oleh perubahan dinamis laut.

Foto Gunung Anak Krakatau setelah keruntuhan tubuh pada 2018 (Indonesia Nature Film Society)

Hunt mengatakan, “longsor itu memicu terjadinya periode vulkanik intensif yang mengakibatkan timbulnya material dengan volume lebih banyak daripada yang hilang saat terjadinya keruntuhan badan, tetapi 90% dari material baru itu terdeposit di lepas pantai.”

“Lebih lanjut,” ia menambahkan, “perubahan dasar laut yang terjadi pada saat itu menunjukkan jika lingkungan vulkanik skala besar dapat tetap bersifat sangat dinamis berbulan-bulan setelah terjadinya keruntuhan badan dan menggambarkan potensi suatu keruntuhan untuk memicu terjadinya aktivitas vulkanik yang dinamis, yang mana mengaburkan bukti dari keruntuhan itu sendiri.”

Keruntuhan badan Anak Krakatau 2018 dan tsunami yang terjadi adalah satu-satunya peristiwa major island-arc collapse yang berhasil tercatat oleh instrumen modern, teknologi satelit, pemetaan dasar laut resolusi tinggi, dan pengamatan detail dampak tsunami. “Peristiwa Anak Krakatau, karenanya, adalah suatu kesempatan unik untuk menganalisa keruntuhan tubuh; menghasilkan tolak ukur yang akurat untuk menguji solusi pemodelan tsunami.”

Penerjemah: Favian Aldilla R (Teknik Sipil, 2019)