Umesh Phadke: Menjaga Relevansi Sebuah Brand di Era Digital

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – “Digital is the mother of all transformations.” Kata Presiden Direktur PT. L’Oréal Indonesia, Umesh Phadke saat menjadi pembicara dalam Studium Generale KU-4078 di Aula Barat ITB, Rabu (13/11/2019). Pada acara yang diikuti ratusan mahasiswa ITB tersebut, ia menyampaikan bagaimana sebuah brand kosmetik bisa tetap menjaga relevansinya di era teknologi digital.

“Inovasi itu bisa hadir dalam banyak hal, misalnya new technology, new product, new packaging, new format and new size, new color dan lain-lain. Dahulu, moisturizer milik L’Oréal tidak memiliki ukuran sachet, namun kini sudah ada teknologi untuk fill in cream di dalem kemasan. Itu adalah inovasi,” jelasnya.

Bahkan menurutnya, inovasi tidak harus selalu hadir dalam skala besar, melainkan bisa dimulai dari hal sederhana seperti adanya perubahan warna dalam sebuah produk. “Kita seringkali mengasosiasikan inovasi dengan hal-hal besar seperti teknologi smartphone, padahal inovasi bisa dimulai dari hal mendasar. Inovasi adalah sebuah perubahan. Because it is allow people to do something different,” ujarnya.

Umesh menyampaikan kunci dari reinovasi baginya adalah menempat konsumer sebagai pusat utama dan secara konsisten melakukan transformasi. “Dua keahlian yang dibutuhkan untuk terus melakukan reinovasi adalah listen and break what’s not broken, If you continue doing exactly what you’re doing without paying attention to what’s going on outside in the market you’re surely going to die,” terangnya.

Ia menggambarkan, Kodak dan Fujifilm merupakan dua produk yang pas untuk dijadikan contoh pernyataan yang ia lontarkan sebelumnya. Kodak dan Fujifilm berangkat dari brand yang memiliki spesialisasi di bidang film di awal kemunculan, namun, Kodak saat ini sudah tidak ada sedangkan Fujifilm masih terus berkembang karena Fujifilm terus menerus menemukan hal yang baru.

Tak cukup satu contoh, ia memberikan contoh lain sebuah brand handphone yang dulunya merupakan satu-satunya yang berada di pasaran. Namun, dalam enam tahun market share dari brand tersebut menurun hingga 90%. Dia menyimpulkan, hal tersebut terjadi karena kurangnya visi yang jelas di dalam perusahaan tersebut dan merasa sudah di posisi aman. “So, we need to innovate to stay relevant,” sambungnya.

Sejarah L’Oréal

L’Oréal sendiri merupakan sebuah brand yang mulanya diciptakan seorang kimiawan Paris, Eugene Schuelllers, yang membuat cat rambut agar tidak luntur terkena air. Di Indonesia sendiri brand ini sudah ada selama 40 tahun dan memiliki 15 brand. “Misi dari L’Oréal ada dua yakni beauty for all and universalization. Kami ingin terus menjadi relevan, kami menjual produk ke pria maupun wanita, semua gender dan sema usia di seluruh dunia.”

Universalization bisa tercapai karena brand ini mampu menempatkan bahwa mereka bukan hanya perusahaan paris, namun perusahaan seluruh dunia.“Jika ingin relevan untuk masyarakat Indonesia, produknya dibuat untuk Indonesia, marketing-nya harus relevan, dan juga membangun koneksi yang relevan ke konsumen di Indonesia,” tambahnya.

Umesh mengaku bahwa L’Oréal melakukan transformasi pada tiga pilar yaitu business model, consumer centricity dan digital innovation. Untuk business model, demi menjaga relevansinya di seluruh dunia L’Oréal bukan hanya memiliki French brand yang merupakan tempatnya berasal namun juga terdapat American brand, Japanese brand, Chinese brand dan Korean brand. Penjualan menggunakan semua lini masa juga menjadi trik L’Oréal sepeti penjualan melalui salon, mass market, pharmacies, drugstore, departement stores, branded retail, travel retail dan yang terakhir adalah e-commerce. 

Pilar kedua yang disampaikannya dalam melakukan transformasi adalah consumer centricity atau menjadikan konsumen sebagai pusat mendengar kebutuhan juga harapan dari konsumen. Dan pilar terakhir adalah digital innovation.

Selain itu, untuk melakukan penemuan baru dalam dunia kecantikan L’Oréal melakukan tiga hal yaitu incubators, open innovation, and events. Inkubator ditujukan untuk mencari ide-ide baru dalam industri ini. Kemudian open innovation dilakukan dengan cara membangun kerjasama dengan world-class accelators dan events ditunjukkan L’Oréal dengan cara berpartisipasi dalam acara teknologi di seluruh dunia.

Inovasi yang baru saja dilakukan brand kecantikan ini adalah modiface, atau sebuah teknologi face recognition yang mampu menciptakan pengalaman baru konsumen untuk mencobanya terlebih dahulu secara digital. Indonesia menjadi negara pertama yang memiliki kesempatan untuk mencoba teknologi tersebut. “Kita harus menyadari the power of technology. The power of technology to transform everything is there around us,” tutupnya.

Reporter: Salsabila Tantri Ayu (Kimia, 2016)