Urgensi Mekanisme Kolaboratif dalam Penyediaan Infrastruktur Berkelanjutan Sesuai SDGs

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id — Perencanaan merupakan proses yang kompleks dan memerlukan banyak pertimbangan, salah satunya adalah pertimbangan biaya akibat keterbatasan (budget constraint). Hal ini diutarakan oleh Luky Alfirman, Ph.D., selaku Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan RI dalam sesi kuliah umum SAPPK yang mengangkat topik “Pembiayaan Kreatif untuk Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan” pada Jumat (10/9/2022).

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, kebutuhan dana untuk pembiayaan infrastruktur sebesar Rp 6.445 T yang terdiri dari dana APBN pemerintah sebesar Rp2.385 T (37%), BUMN sebesar Rp1.353 T (21%), dan selebihnya berasal dari swasta sebesar Rp2.707 T (42%).

Skema pembiayaan infrastruktur harus disusun secara inovatif dan kreatif untuk meninggalkan cara-cara lama yang menempatkan pemerintah sebagai sentral dalam pembangunan infrastruktur. Namun hal ini kerap kali menjadi masalah ketika swasta enggan berinvestasi di sektor infrastruktur karena sifatnya jangka panjang sehingga menimbulkan biaya tambahan dan risiko yang besar.

Luky menjelaskan, pada mulanya kerja sama penyediaan infrastruktur dengan pihak swasta yang berbentuk KPBU sangat sulit dilakukan. Namun kini berkat sistematika kolaborasi yang lebih baik, 31 proyek infrastruktur berhasil diresmikan dengan estimasi nilai total sebesar 21,29 miliar USD.


“Kami mulai memikirkan KPBU mulai tahun 2005. It took years, bertahun-tahun sampai sistem ini bisa berjalan. Dan alhamdulillah bentuk perkembangannya seperti eksponensial. Di awal kita benar-benar berjuang karena kita membangun kepercayaan investor terhadap sistem ini. Jadi poinnya, skema KPBU kita sudah jalan, tested, proven,” tambahnya.

Menurut penuturan Luky, ide utama dalam KPBU adalah blended finance. Blended finance merupakan skema pembiayaan campuran antara banyak pihak dengan beberapa alternatif skema dalam suatu proyek. Dalam sistem ini, para pihak yang terlibat dalam investasi berusaha mengoptimalkan sharing sehingga risiko dapat diminimalisir.

Di Indonesia sendiri, penyediaan infrastruktur yang berkelanjutan didukung pula SDG Indonesia One (SIO) yang dikelola oleh PT SMI. SIO merupakan sebuah platform terintegrasi yang menggabungkan dana pemerintah dengan pihak lain termasuk swasta, lembaga pembangunan, dan filantropis untuk disalurkan ke proyek infrastruktur terkait SDGs. Konsep yang dijalankan SIO terdiri dari empat skema yaitu penyiapan proyek (developing facilities), penguraian risiko (de-risking facilities), pembiayaan (financing facilities), serta dana ekuitas (equity fund).

“Sekarang kita punya platform yang dikelola oleh suatu institusi yang kredibel, yang reputasinya bagus, untuk menyalurkan dana-dana tadi guna merealisasikan proyek proyek yang sifatnya menunjang pencapaian SDGs kita. Alhamdulillah kita sudah berhasil mobilisasi 3,27 miliar USD dari 33 partner yang terlibat,” ujar Luky.

Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan berpedoman pada kerangka kerja tematik yaitu SDGs Government Securities Framework yang mencakup aspek penggunaan hasil, proses evaluasi dan seleksi proyek, pengelolaan hasil, dan pelaporan. Proyek-proyek berbasis SDGs harus sesuai dengan standar dan prinsip internasional. Hal ini dilakukan dengan tujuan meyakinkan investor bahwa infrastruktur yang akan dibangun benar-benar berlandaskan asas berkelanjutan sesuai SDGs.

“Kita masukkan (proyek infrastruktur berkelanjutan) ke dalam framework yang kemudian akan di-review dan dievaluasi oleh third party. Pihak ini yang akan melihat apakah framework yang diajukan sesuai dengan standar internasional dalam proses bernama medium shading.”

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)