Yan Yan Sunarya, “Doktor Batik Sunda” dari ITB

Oleh Ahmad Fadil

Editor Ahmad Fadil

BANDUNG, itb.ac.id – Batik sebagai salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang telah diakui dunia tidak hanya dipandang sebagai kain tradisional beragam corak. Melalui batik kita bisa memaknai sejarah, nilai kebudayaan, dan identitas suatu daerah. Atas dasar itulah membuat Dosen Kriya Dr. Yan Yan Sunarya, S.Sn., M.Sn. terus mempopulerkan batik lebih luas lagi.

Bahkan karena kecintaannya pada batik, khususnya Batik Sunda, dia mengenalkan dirinya sendiri sebagai Doktor Batik Sunda pertama di dunia pada tahun 2014, yang kemudian pada tahun 2016 diakui sebagai "The First Doctor in Sundanese's Batik" dalam @KoreanUpdates! Ia meraih gelar sarjananya di Desain Tekstil FSRD ITB, gelar magister di Desain FSRD ITB, dan gelar doktor di Ilmu Seni Rupa dan Desain FSRD ITB. Atas kesadarannya terhadap tanah kelahiran, dirinya mendalami khazanah Batik Sunda dengan penelitiannya yang berjudul “Strategi Adaptasi Visual pada Ragam Hias Batik Sunda”.

Ketua Program Studi S-3 Ilmu Seni Rupa dan Desain ITB ini, sengaja mempopulerkan diri sebagai Doktor Batik Sunda karena tidak banyak orang tahu bahwa di Sunda juga mempunyai corak batik yang khas yang dapat diteliti secara mendalam. Kekhasannya itu muncul dari karakter orang Sunda yang humoris dan ceria dalam bentuk warna, corak, motif, komposisi, penamaan, dan sebagainya.

Dia menceritakan, saat lulus S-1 di FSRD ITB, penelitian yang dilakukan mengenai fashion modern. Lanjut S-2 di fakultas yang sama juga mengenai fashion di era posmodern. Namun saat S-3, penelitiannya disarankan oleh promotor agar tidak lagi mengangkat kembali desain modern. “Saya diamanatkan untuk mengangkat soal Batik Sunda. Dan dari situlah saya tertarik untuk mempopulerkan Batik Sunda,” kata Dr. Yan Yan saat berbincang di Gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Jalan Ganesa, Selasa (10/7/2018).

Dia menjelaskan kurikulum mengenai kearifan lokal di bidang batik perlu dimasukkan ke dunia pendidikan formal. Sehingga dengan begitu orang bisa mengenal batik lebih mendalam lagi tidak hanya produknya saja. “Pada awalnya tidak ada belajar kearifan lokal yang masuk dalam kurikulum. Yang ada ialah Internasional Style. Baru pada tahun 1991 sebagai periode posmodern di Indonesia, sudah mulai diakui kearifan lokal dari Indonesia. Dari sanalah kurikulum kita sudah memahami bahwa kita itu punya kekuatan lokal. Akhirnya memasukan mata kuliah Batik, Ikat, Tinjauan Kriya, Sejarah Kriya, dan seterusnya sebagai muatan lokal di sini,” ujarnya. Tidak hanya di dalam kelas, ketika mengisi seminar atau simposium pun Yan Yan selalu mengangkat kearifan lokal Batik Sunda.

Tentang Batik Sunda
Sejarah Batik dalam masyarakat Sunda dijelaskan Yan Yan, berasal dari kata “euyeuk” dan “pangeuyeuk”. Hal itu terdapat di dalam naskah Sunda Buhun Siksa Kanda Ng Karesian pada abad ke-16. Dalam naskah itu dijelaskan mengenai bahan, potongan, warna, corak, estetika, dan cikal bakal batik saat ini. Contoh warna khas batik Sunda misalnya, beureum euceuy (merah kuat), hejo ngagedod (hijau pekat) dan warna lainnya. “Bagaimana rancangannya, itu ada istilah didadarkeun, wirahma, dilempengkeun, entong paliyas, kade papalimpang. Banyak sebetulnya cuma saja visualisasinya tidak ada, melainkan baru secara literasi saja,” katanya.

Karena hanya sebatas bukti literasi, sehingga sulit untuk mengetahui bentuk visual asli batik Sunda. Oleh karena itulah visualnya sebagian dipengaruhi batik Jawa yang ada saat ini. Sebab menurutnya antara batik Jawa dan Sunda punya saling keterkaitan secara historis. Batik Sunda itu tercermin dari orang Sunda yang terbuka (muka), adaptif (merenahkeun), positif (hade hate), dan kreatif (binangkit). Sehingga dalam unsur pemilihan warnanya mencerminkan keceriaan, kadang terang. “Dasarnya ceria, humoris, dan ekspresif,” ucapnya.

Dia mengatakan, saat ini batik yang ada di pasaran tidak sepenuhnya asli. Melainkan sudah bercampur dengan "batik palsu" hasil printing. Batik ini biasanya beredar di pasaran dengan harga yang amat murah. Oleh karena itu ia memberi saran kepada pemerintah harus bisa memberikan subsidi kepada pengrajin batik, baik berupa insentif, bahan baku, peralatan, dll., sehingga batik mereka bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. “Sekarang di ITB sudah ada kurikulum batik untuk mata kuliah pilihan, ternyata peminatnya cukup banyak, di luar prodi kriya ada prodi astronomi, kimia, arsitektur, pokoknya membludak,” katanya.


Selain pada batik, Dr. Yan Yan juga punya ketertarikan di bidang Korean Fashion. Pada 2016, ia diberi kesempatan sebagai mentor dalam acara Young Creator Indonesia Fashion Institute (YCIFI). Kegiatan acara itu salah satunya dengan mengadakan Basic Fashion Design Course bagi para calon desainer tanah air mengenai Korean Fashion dalam konteks pertukaran kebudayaan.

Acara tersebut merupakan kerjasama antara Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Program Studi Kriya, dengan Korea Foundation for International Culture Exchange (KOFICE) dan Global Korean Lounge (GKL) Foundation. Kerjasama itu dimulai pada tahun 2014 sampai sekarang.

Reporter: Adi Permana