Ahli Sampah Indonesia: Professor Enri Damanhuri

Oleh

Editor

Sampai sekarang, pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan paradigma lama: kumpul-angkut-buang. Source reduction (reduksi mulai dari sumbernya) atau pemilahan sampah tidak pernah berjalan dengan baik. Meskipun telah ada upaya pengomposan dan daur ulang, tapi masih terbatas dan tidak sustainable. Pembakaran sampah dengan insinerator pun dianggap hanya memindahkan masalah ke pencemaran udara. Sampah, topik yang kurang populer bagi sebagian besar orang ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Dr. Enri Damanhuri. Setelah lulus dari Jurusan Teknik Penyehatan (sekarang Teknik Lingkungan-red) ITB tahun 1975 dan meyelesaikan pendidikan S2 dan S3-nya dari Univesitas Paris VII, Perancis dalam bidang Kimia Pencemaran, beliau bekerja sebagai dosen di Program Studi Teknik Lingkungan ITB sejak tahun 1976. Saat ini, beliau menjabat Ketua KK (Kelompok Keahlian) Pengelolaan Udara dan Limbah di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB. KK merupakan ujung tombak dalam pengembangan ITB sebagai perguruan tinggi yang berbasis penelitian. Tadinya, KK Pengelolaan Udara dan KK Pengelolaan Limbah berjalan sendiri-sendiri. Baru saat diberakukan peraturan yang mengharuskan setiap KK memiliki minimal 8 orang anggota pada tahun 2006, kedua KK itu mengalami merger. Padahal, pengelolaan udara dan limbah adalah dua hal yang sangat berbeda. “Tapi ada juga titik temunya, yaitu perubahan iklim,” kata Pak Enri. Berawal dari ketidaksengajaan Semuanya berawal dari ketidaksengajaan. “Waktu saya masuk ITB (tahun 1969-red), orangtua jaman dulu kan inginnya anaknya masuk kedokteran, jadi saya memilih Jurusan Teknik Penyehatan karena saya kira itu membuat alat-alat kedokteran,” kenangnya. Karena merasa salah jurusan, satu-dua tahun pertama di ITB beliau masih mencoba-coba mengikuti seleksi di perguruan tinggi lain. Pada tahun keduanya di ITB, beliau bahkan pernah mendobel kuliah di Farmasi Unpad. Barulah setelah tahun ketiga beliau bisa merasa menikmati perkuliahan di Teknik Penyehatan dan akhirnya memutuskan untuk terus menekuni dunia itu. “Dari dulu saya sampah,” katanya. Maksudnya, dari dulu beliau sudah memilih sampah sebagai spesialisasinya. “Dulu orang-orang biasanya tertarik pada pengelolaan air minum atau air buangan, tidak ada yang memilih sampah. Karena itu sebelum saya berangkat ke Perancis untuk mengambil S2 dan S3 saya berpikir, harus ada yang mengisi kekosongan ini.” Pak Enri menjadi doktor pertama di Indonesia yang bergerak di bidang persampahan. Bersama Dr. Tri Padmi, istrinya yang juga dosen di Teknik Lingkungan ITB dan anggota KK yang sama, beliau mendirikan Laboratorium Persampahan (sekarang Laboratorium Buangan Padat dan B3-red) di ITB, yang merupakan laboratorium sampah yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dalam skala perguruan tinggi. Menjadi dosen pun berawal dari ketidaksengajaan. Tahun pertama setelah lulus dari ITB, beliau sempat bekerja sebagai konsultan. Pekerjaannya itu mengharuskannya sering ke kampus. Karena itu, beliau iseng-iseng mendaftar menjadi asisten beberapa mata kuliah. Setelah merasakan senangnya mengajar, setahun kemudian beliau mendaftar menjadi dosen. “Yang menarik dari menjadi dosen adalah selalu ada kesempatan untuk belajar,” katanya. “Selain itu selalu ada orang baru, jadi banyak kenalan di mana-mana. Setelah mahasiswa saya lulus kan jadi partner kerja saya.” Sampai sekarang, sudah 31 tahun beliau mengajar di ITB. Teknologi Pengelolaan Sampah Pengelolaan sampah yang ideal adalah sedekat mungkin dengan sumbernya. Berangkat dari konsep itu, Pak Enri menjadi pelopor didirikannya PPS (Pusat Pengolah Sampah) ITB yang berlokasi di pojok Sabuga (Sasana Budaya Ganesha) pada tahun 2006. Sejak ada PPS ITB, ITB bisa mengelola sendiri sampahnya dan tidak perlu lagi bergantung pada Dinas Kebersihan. “Waktu itu saya sedang wawancara di sebuah radio, ada yang bertanya, ‘ITB punya PPS sendiri nggak?’ Setelah itu saya langsung menelepon LAPI, ‘Punya uang nggak? Ayo kita buat PPS!’” kisahnya. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang sedang marak dibicarakan akhir-akhir ini, menurut Pak Enri bukanlah hal yang baru. Sampah memang merupakan sumber energi, dari panas yang dihasilkannya pada proses pembakaran. Konsep ini dikenal dengan istilah ‘waste to energy’. “Teknologi pengolahan sampah itu sebenarnya banyak sekali, dari mulai yang paling murah sampai yang paling mahal. Yang sulit adalah merubah perilaku manusianya. Nah, yang ini bukan tugas ITB,’ katanya. Perilaku manusia yang beliau maksud tentu saja adalah perilaku seenaknya dalam mengelola sampah, termasuk yang paling parah adalah membuang sampah sembarangan. “Cita-cita saya, di Bandung ada instalasi pengelolaan sampah yang benar-benar bagus,” katanya. Saat ini, selain mengajar Pak Enri juga membuat berbagai standar nasional untuk TPA atau proses pengelolaan sampah. Beberapa di antaranya bahkan digunakan secara internasional. Cinta Keluarga Saat tidak sedang ‘mengurus sampah’, Pak Enri selalu menghabiskan waktu luangnya bersama keluarga. Sekedar kumpul di rumah, atau jalan kaki bersama. “Saya ini orangnya nggak neko-neko,” katanya. Anak pertamanya sudah bekerja dan berkeluarga, sedangkan anak keduanya masih kuliah di ITB.

scan for download