Akuakultur Berbasis Teknologi Ciptakan Zero Waste dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—ITB kembali hadir dengan inovasinya dalam mengatasi permasalahan di masyarakat dan berbagi ilmu melalui acara Karsa Loka. Acara ini merupakan aksi ITB yang bertujuan untuk mengembangkan konsep, pengalaman, dan peran ITB dalam membantu persoalan di tengah masyarakat.
Bekerja sama dengan Design Etnography Lab dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, LPPM ITB menyelenggarakan Karsa Loka Vol. 015 secara daring melalui platform Zoom dan YouTube LPPM ITB pada Jumat (12/3/2022). Acara ini juga didukung oleh media partner Media Indonesia yang turut mengundang para tokoh untuk berbagi ilmu dan best practice dalam pemberdayaan masyarakat melalui inovasi sains, seni, dan teknologi tepat guna.
Karsa Loka Vol. 015 mengusung tema “Akuakultur Berkelanjutan”, dengan mengundang narasumber Dosen FMIPA ITB Acep Purqon, S.Si., M.Si., Ph.D. Acara dipandu oleh Dosen FSRD Meirina Triharini, S.Ds., M.Ds., Ph.D.
Akuakultur
Akuakultur merupakan bentuk pemeliharaan dan penangkaran berbagai macam hewan atau tumbuhan perairan yang menggunakan air sebagai komponen pokoknya. Acep menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia zaman sekarang memiliki kebudayaan menimbun. Padahal kebiasaan ini berasal dari budaya masyarakat di negara empat musim karena tumbuhan di negara tersebut sulit untuk tumbuh subur. Sedangkan, dengan potensi keanekaragaman hayati di negara Indonesia sudah sepatutnya untuk meninggalkan kebiasan tersebut dan beralih pada budaya fresh seperti yang dianjurkan oleh SDG’s yakni menciptakan produk yang fresh dengan teknologi yang ada.
Akibatnya, di Indonesia masih dijumpai kasus kematian akibat kekurangan gizi bahkan kekurangan makanan. Masalah yang sedang marak di negara berkembang yakni stunting (kurang gizi kronis yang ditandai dengan bertubuh pendek). Kasus stunting di Indonesia tergolong masih tinggi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dengan angka kasus stunting 30,8% (Berdasarkan data riset Kesehatan dasar, 2019). Hal ini sudah melebihi target WHO yakni 20%.
Dalam mengatasi hal ini berbagai upaya pemerintah telah dilakukan salah satunya di bidang akuakultur. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggalakan kegiatan gerakan memasyarakatkan makan ikan untuk ibu hamil dan menyusui. Namun, kegiatan ini masih belum merata dan terkendala karena terdapat beberapa permasalahan.
Budidaya Ikan Salmon
Acep mengatakan bahwa kunci masa depan adalah bagaimana mempersiapkan dan merencanakan segala sesuatu. Oleh karena itu, ITB hadir dengan perencanaan dan persiapan mengatasi permasalahan ini. Acep dan tim menyelenggarakan program budidaya ikan salmon bekerja sama dengan Jepang.
Hal yang melatarbelakangi Acep dan tim kerja sama penelitian ikan salmon di antaranya:
1. Ikan Salmon sangat populer di negara Jepang. Konsumsi ikan salmon di Jepang mencapai 600.000 ton/tahun
2. Permintaan yang konkrit dari Jepang untuk mengembangkan Land Based Aquaculture untuk Salmon di Indonesia dengan investasi dari Jepang
3. Biaya investasi dan operasional yang relatif murah dibandingkan marin kultur lainnya
4. Salmon dapat hidup di air tawar dan air asin sehingga memudahkan untuk proses budidaya
5. Menjadi sumber protein ikan utama seperti Vitamin D, Omega 3, dan asam lemak.
Menurut Acep, tantangan terbesar dalam penelitian ini yakni membuat habitat yang mirip dengan aslinya karena membutuhkan energi besar. Hal ini mengingat dalam mengembangkan suatu produk tidak bisa terlepas dari budayanya. Oleh karena itu, Acep menggunakan wind turbin dan solar cell untuk menunjang habibat ikan salmon yang ditunjang letak Indonesia yang mendapatkan intensitas matahari dan angin yang cukup.
Sistem Pertanian Terpadu
Dalam mengembangkan budidaya ikan salmon, Acep menggunakan sistem pertanian terpadu (Integrated Farming System). Itu merupakan sistem pertanian dengan upaya memanfaatkan keterkaitan antara tanaman perkebunan, pangan, hortikultura, hewan ternak dan perikanan, untuk mendapatkan agro ekosistem, yang mendukung produksi pertanian (stabilitas habitat), peningkatan ekonomi dan pelestarian sumber daya alam.
Sistem pertanian terpadu menciptakan ekosistem buatan di mana kegiatan pertanian, peternakan dan perikanan diolah sedemikian rupa agar bisa terintegrasi satu dengan lainnya. Diharapkan sistem ini dapat tidak merusak lingkungan sebagai lahan pertanian sehingga tercipta zero waste dalam rangka menunjang circular economy.
Dari hal ini dapat dilihat bahwa permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat diatasi dengan melihat potensi yang dimiliki. Untuk menemukan solusi yang tepat perlu dilakukan sebuah perencaan dan persiapan yang matang karena sejatinya tidak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan. “Potensi hanya menjadi potensi jika tidak dikonversi,” ungkap Acep.
Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)