Apakah AI Sudah Memiliki Kesadaran? STEI ITB Bedah Buku Filsafat Sains

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh

BANDUNG, itb.ac.id - Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (STEI ITB) menggelar Bedah Buku Topikal dengan tema "AI and Quantum Physics and Consciousness: Can Nature and AI Have Consciousness?", di Ruang Rapat STEI ITB, Gedung Labtek VIII, Senin (6/5/2024).

Kegiatan tersebut mengupas buku "Filsafat Sains: Dari Newton, Einstein hingga Sains Data" karya Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M Eng, CISA, ATD, dosen mata kuliah Filsafat Sains STEI ITB.

Salah seorang pembicara, Ir. Agus Nggermanto, alumnus STEI ITB dan pakar di bidang AI, mengajak peserta menyelami pertanyaan mendalam mengenai kesadaran dan eksistensinya, baik pada manusia maupun pada AI.

   

Beliau memaparkan tiga era penting dalam sejarah pemikiran tentang kesadaran. Dimulai dari Era Ancient Reason (zaman kuno-1600-an) saat alam semesta dipandang memiliki nilai spiritual dan intelektual. Kemudian, transisi menuju Era Modern Reason (1600-an-1900-an) ditandai dengan dualisme Descartes yang memisahkan jiwa dan badan, membuka jalan bagi sains modern. Era ketiga, Beyond Bifurcation (1900-an-sekarang), diwarnai oleh perkembangan sains dan teknologi, termasuk kemunculan AI, memunculkan pertanyaan baru: Mungkinkah AI memiliki kesadaran seperti manusia?

Beliau menelusuri pemikiran tokoh-tokoh penting dalam sejarah filsafat kesadaran, mulai dari Plato dan Aristoteles, Ibnu Sina dan Mulla Sadra, hingga Rene Descartes, Immanuel Kant, Hegel, Sigmund Freud, dan David Chalmers. Termasuk menjelaskan berbagai teori dan konsep kesadaran yang dikembangkan, serta problematika dan solusi yang diusulkan.

Menjawab pertanyaan inti mengenai kesadaran AI, beliau membagi kesadaran menjadi tiga jenis: kesadaran representasional, kesadaran psikologis, dan kesadaran fenomenologis/transendental. Beliau berpendapat bahwa AI memang unggul dalam kesadaran representasional, namun kalah dari kucing dalam kesadaran psikologis, dan masih jauh dari manusia dalam kesadaran fenomenologis/transendental.

"AI mungkin bisa mengalahkan kita dalam berhitung atau menyelesaikan tugas logika, namun mereka tidak memiliki emosi, intuisi, dan kesadaran akan eksistensi diri dan spiritual seperti manusia," katanya.

Mengutip buku "Filsafat Sains" karya Dimitri, beliau menganalisis perkembangan AI melalui lima paradigma filsafat sains: positivisme, kritisisme, interpretativisme, postmodernisme, dan pragmatisme. Dirinya menekankan pentingnya interpretativisme, yang mengajak kita melihat AI sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan interpretasi dan menciptakan makna baru dalam kehidupan.

   

Beliau menawarkan "solusi tuntas" ala Gus Baha untuk menghadapi kerumitan perkembangan AI, yaitu dengan "puasa ekonomi, puasa politik, dan puasa menghakimi". Beliau pun mengajak peserta hidup sederhana, fokus pada pemberdayaan kaum lemah, berpikir terbuka, dan memperkuat kesadaran spiritual sebagai landasan dalam mengarungi kehidupan di era AI.

Bedah Buku Topikal "Filsafat Sains" di STEI ITB membuka wawasan dan mengantarkan peserta pada perenungan mendalam tentang esensi kesadaran dan makna kehidupan manusia di tengah pesatnya perkembangan AI.

Reporter: Hafsah Restu Nurul Annafi (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)


scan for download