Orasi Ilmiah Prof. Anggraini Barlian: Dari Sel Punca hingga Rekayasa Jaringan dan Eksosom sebagai Kontribusi Biologi dalam Masa Depan Bidang Kesehatan

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita


BANDUNG, itb.ac.id - Guru Besar Fakultas Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB), Prof. Dr. Anggraini Barlian, M.Sc., menyampaikan orasi ilmiah dengan judul "Dari Sel Punca hingga Rekayasa Jaringan dan Eksosom: Kontribusi Biologi dalam Masa Depan Bidang Kesehatan", di Aula Barat ITB, Sabtu (16/09/2023).

Dalam orasinya, beliau menjelaskan perkembangan keilmuan dari Sains Biologi hingga munculnya Regenerative Medicine pada 1999.

"Regenerative Medicine yang muncul pada tahun 1999 merupakan suatu blent knowlede di mana di dalamnya termasuk tissue engineering atau rekayasa jaringan, cell transplantation, dan stem cell biology atau biologi sel," ujarnya.

Sebelum berkecimpung dengan sel punca, penelitian yang dilakukan beliau yakni mendalami mekanisme determinasi dan diferensiasi seks yang ditentukan oleh suhu inkubasi, baik di tingkat sel maupun organ, hingga studi terkait aging atau penuaan, termasuk studi tentang telomerase dan enzim-enzim antioksidan pada hewan yang terkenal panjang umur, penyu hijau.

Sejak tahun 2010, penelitian-penelitian beliau lebih banyak difokuskan sesuai dengan road map penelitian KK yang mengarah ke sains biomedik. Berdasarkan lini masa penelitiannya, beliau pun meneliti tentang sel punca, rekayasa Jaringan, hingga eksosom.

"Sel merupakan unit fungsional terkecil dari kehidupan. Sel memiliki karakteristik makhluk hidup. Tubuh kita disusun dari sekitar 37,2 triliun sel dan berasal dari sekitar 200 jenis sel," katanya, membuka pembahasan tentang sel punca.

Sel punca atau stem cell adalah sel yang memiliki karakteristik mampu memperbanyak diri sendiri dan juga mampu berdiferensiasi menjadi berbagai macam sel yang sangat spesial.

Sementara itu, rekayasa jaringan akan menjadi suatu solusi alternatif ketika jaringan tubuh mengalami kerusakan yang berat karena kecelakaan atau penyakit, termasuk proses yang alami yaitu penuaan.

Adapun jaringan rawan yang tersusun oleh sel-sel rawan atau kondrosit di dalam tubuh sangat terbatas dan memiliki kemampuan regenerasi yang sangat rendah.

“Artinya, jika mengalami kerusakan pada jaringan rawan, maka tubuh akan sangat sulit memperbaikinya. Hal ini disebabkan karena jaringan rawan tidak memiliki pembuluh darah dan juga tidak memiliki sel. oleh sebab itu rekayasa jaringan rawan termasuk salah satu rekayasa jaringan yang perlu dikembangkan,” ujarnya.

Konsep dasar dalam rekayasa jaringan terdiri atas tiga faktor, yaitu sumber sel (sel punca), scaffold atau perancah tempat sel menempel tumbuh dan berdiferensiasi, serta biofaktor.

Dalam penelitiannya, beliau berfokus pada tiga jenis rekayasa jaringan, yakni rekayasa jaringan rawan, rekayasa jaringan tulang, dan rekayasa jaringan kulit.

"Studi rekayasa jaringan haruslah melalui pendekatan multidisiplin, di ITB pendekatan multidisiplin rekayasa jaringan ini melibatkan beberapa sekolah atau fakultas yaitu Biologi dari SITH, Teknik Material dari FTMD, Teknik Fisika dari FTI, dan Fisika dari FMIPA,” katanya.

Pada penelitian rekayasa jaringan rawan, dikembangkan scaffold yang berbahan baku alami, yaitu protein fibroin dari kepompong ulat sutra dan protein spidroin dari jaring laba-laba Argiope Appensa. Scaffold membantu memfasilitasi tubuh dan berkembangnya sel. Dibandingkan dengan scaffold dengan fibroin, scaffold yang mengandung spidroin memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mendukung pertumbuhan dan diferensiasi sel Punca.

Sementara itu, rekayasa jaringan tulang dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi kerusakan berat pada tulang ataupun terjadinya major bone loss. Adapun kekayaan laut Indonesia merupakan sumber bahan geometrial untuk scaffold, salah satunya spons.

Beliau memilih tiga spesies spons yang belum banyak diteliti yang ternyata memiliki kandungan silika di atas 90%. Silika diketahui berperan penting di dalam pembentukan tulang.

Adapun pada penelitian ketiga, rekayasa jaringan kulit, dapat menjadi solusi alternatif ketika kulit mengalami luka besar seperti luka bakar.

Beliau menjelaskan, kekhawatiran terapi berbasis sel atau cell base therapy yang memanfaatkan sel punca untuk ditransplantasikan secara langsung pada tubuh dapat memunculkan tumor, maka mendorong penelitian serta aplikasi eksosom sebagai cell-free based terapi yang berkembang sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir ini.

Eksosom bukan sel namun produk atau turunan sel dan merupakan vesikel ekstrasel yang dihasilkan oleh sel. Eksosom yang dihasilkan oleh sel punca memiliki peran yang sama pentingnya dengan sel punca itu sendiri. Eksosom memiliki peran dan karakteristik yang mampu diinternalisasi secara relatif cepat ke dalam sel. Peran eksosom, khususnya dari hWJ MSC, terbukti dapat menekan inflamasi pada sel paru-paru.

“Aplikasi sel punca dalam regenerative medicine memerlukan konsep-konsep sains yang kuat di bidang Biologi seperti Biologi Sel dan Biologi Perkembangan,” ujarnya.

Beliau pun menegaskan peran biologi masa kini dan masa depan di bidang kesehatan tidak lagi berdiri sendiri sebagai sains dasar, namun merupakan bagian dari pendekatan multidisiplin yang tidak terpisahkan.