Aplikasikan Takakura, Mahasiswa ITB Ikuti Tiga Konferensi Internasional
Oleh Neli Syahida
Editor Neli Syahida
Kelima mahasiswi yang tergabung dalam tim ini adalah Indah Rosidah M. (Fisika 2010), Amelia Warliana (Teknik Lingkungan 2011), Seny Damayanti (Teknik Lingkungan 2009), Shuffah Nur Hijrah (S2 Teknik Lingkungan 2014), dan Khatlya Riyana (Mikrobiologi 2011). Selain berkesempatan menyampaikan karyanya pada konferensi internasional, paper mereka juga akan dipublikasikan di jurnal internasional.
Sebelumnya, karya mereka ini juga telah diikutkan dalam dua konferensi internasional, yaitu National Institute of Development Administration (NIDA) Thailand Summer Camp, dan sebuah konferensi internasional lain di Malaysia. Dengan mengusung tema zero waste, pada prinsipnya mereka ingin agar sampah di desa Cikahuripan bisa dimanfaatkan. Dalam menjalankan misinya, mereka mengklasifikasikan sampah menjadi dua golongan, sampah kering dan sampah basah. Sampah basah terdiri dari limbah rumah tangga dan limbah pertanian yang sebelumnya banyak menumpuk. "Lahan pertanian di desa Cikahuripan itu luas, hasilnya banyak, sementara pasarnya sempit. Akhirnya, hasil pertanian banyak yang tidak terjual dan membusuk," ujar Indah.
Pengolahan sampah basah dilakukan dengan dua metode, reaktor biogas dan takakura. Desa Kahuripan sudah memiliki reaktor biogas sendiri. Dana untuk membeli reaktor didapatkan dari kerja sama antara Innovative Commitee Development Center (organisasi yang digagas oleh mahasiswa ITB) dengan PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri). Dengan reaktor tersebut, desa Cikahuripan bisa menjadi desa yang independen, tidak terpengaruh dengan fluktuasi harga energi dunia.
Metode kedua adalah metode yang menjadi fokus optimasi oleh Indah dkk, yaitu keranjang takakura. Metode ini sebenarnya diciptakan pertama kali orang seorang peneliti Jepang bernama Takakura. Sebuah keranjang, ditutup dengan kardus bagian luarnya, serta diberikan air, beras, gula, tanah, sekam dan ditambah dengan sampah basah, kemudian ditutup. Setelah dua minggu, akan terbentuk kompos yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian mereka. Masalah yang dihadapi dalam aplikasi takakura di desa Cikahuripan adalah masalah ekonomi. Harga keranjang takakura per buah sekitar Rp 150.000,00. Oleh karena itu, di sinilah tim Indah bekerja, yaitu membuat keranjang takakura sendiri dengan proses yang optimal sehingga mendapatkan hasil maksimal dengan biaya minimal. Harapannya, masing-masing keluarga di desa Cikahuripan dapat memiliki keranjang takakura sendiri dan dapat melakukan pengolahan sampah mandiri. Penelitian ini berlangsung sekitar 1,5 tahun dan dilaksanakan di Laboratorium Teknik Lingkungan ITB.
ICDC juga membuat "Bank Lingkungan" di desa Cikahuripan. Bank Lingkungan adalah tempat bagi warga untuk menjual sampah-sampah kering. Sampah kering yang berupa botol akan dijual lagi di kota oleh bank lingkungan. Sementara sampah kering seperti plastik bungkus kopi, sabun, deterjen, dan sebagainya, oleh ibu-ibu di Desa Cikahuripan akan dibuat menjadi produk kerajinan tangan yang memiliki nilai jual. ICDC sebelumnya telah mengadakan pelatihan khusus kepada ibu-ibu ini dengan mendatangkan pelatih yang pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru atas jasanya di bidang lingkungan. Beberapa dari produk kerajinan tangan ini telah dijual, namun Indah mengaku penjualannya sendiri belum optimal. "Skalanya masih konsumsi pribadi. Kita ingin memasifkan (red-meningkatkan) penjualannya. Kalo kita masifkan, otomatis ordernya juga lebih banyak. Butuh SDM banyak juga, sementara kita sendiri masih kekurangan SDM," kata Indah. Kekurangan SDM bukan hanya dari pihak mahasiswa, melainkan juga SDM dari masyarakat desa Cikahuripan itu sendiri.
Dalam prosesnya, tidak sedikit masalah yang mereka hadapi. Indah mengaku bahwa kendala terbesarnya justru ada pada penerimaan masyarakat Cikahuripan terhadap ide yang mereka usung. Awalnya, bank lingkungan ini diberi nama bank sampah, tetapi respon masyarakat tidak begitu baik. "Masyarakat tidak ingin mendengar kata sampah. Maka, kami mengolah kata-kata dan mengubahnya menjadi bank lingkungan," ujar Indah. "Masyarakat kurang menangkap maksud baik kami. Kalau belum membuktikan sendiri bahwa itu akan bermanfaat bagi mereka, mereka kurang bisa menerima," tambahnya.
Atas usaha gigih Indah dan teman-temannya, serta dukungan dari ICDC, pada akhirnya warga menyambut baik dan mau bekerjasama dengan mereka. Kegigihan Indah dkk. dilatarbelakangi oleh motivasinya untuk menjadikan desa Cikahuripan sebagai reference village. "Kami ingin sampah di desa berkurang hingga zero, masyarakat bisa memilah sampah sendiri, dan menjadikan Cikahuripan sebagai independent village. Selain itu, kami juga ingin menumbuhkan green mental villagers pada warga," ujar Indah. "Awalnya, dari ranah RW dulu, lalu meningkat ke Desa Cikahuripan, hingga menjadi reference village dan akhirnya ditiru oleh desa-desa lain di Indonesia. Kebaikan yang menginspirasi," ucap Indah sambil tersenyum.
Sumber foto: Dokumentasi narasumber