Bagaimana Reaksi Masyarakat terhadap Rencana Penerapan Electronic Road Pricing di DKI Jakarta?
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id -- Dalam waktu dekat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menerapkan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) sebagai solusi dalam mengatasi kemacetan di jalanan ibukota dengan mengenakan biaya pada kendaraan pribadi. Kebijakan ini rencananya akan diterapkan di beberapa jalan arteri seperti Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan M.H.Thamrin, Jalan Sudirman, Jalan Kuningan, Jalan Rasuna Said, dan Jalan M.T.Haryono.
Kebijakan ERP sendiri sudah diterapkan di beberapa kota besar di negara lain seperti Singapura; Stockholm, Swedia; dan London, Inggris. Melalui kebijakan ini diharapkan dalam waktu ke depan, akan mendukung optimasi penggunaan kendaraan umum yang juga sedang dibangun seperti MRT dan LRT.
Reaksi dari masyarakat umum di Jakarta beragam terutama mengenai setuju atau tidaknya penerapan ini dilakukan. Beberapa lapisan masyarakat yang setuju beranggapan bahwa kebijakan ini dapat lebih efektif mengurangi pengguna kendaraan pribadi dibandingkan kebijakan yang sudah diterapkan sebelumnya seperti ganjil-genap. Ditambah lagi, pemerintah melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyebutkan bahwa kebijakan ganjil-genap merupakan kebijakan sementara yang nantinya akan digantikan dengan kebijakan ERP ini.
Di sisi lain, beberapa kalangan berkeberatan dengan kebijakan tersebut dikarenakan kondisi infrastruktur pendukung yang belum memadai, terutama mengenai ketersediaan transportasi umum. Pada kenyataannya, beberapa masyarakat awam lebih memilih untuk menggunakan jalan alternatif lain yang tidak diberlakukan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi seperti ganjil-genap dibanding menggunakan moda transportasi massal.
Melihat kondisi tersebut, mendorong para peneliti di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB yang dipimpin oleh Dr. Yos Sunitiyoso dan beranggotakan Ilham Fadhil Nurdayat, Fikri Hadiansyah, Shimaditya Nuraeni, Noorhan Firdaus Pambudi dan Tutik Inayati, melakukan penelitian untuk mengetahui respon pengguna jalan terhadap kebijakan ERP di Jakarta.
"Penelitian ini menggunakan data yang telah dikumpulkan melalui kuesioner yang disebarkan secara daring (online) dari Oktober hingga Desember 2018 kepada pengguna jalan yang berdomisili dan/atau beraktifitas di Jakarta dan sekitarnya," kata Dr. Yos Sunitiyoso dalam rilis hasil penelitian yang diterima Humas ITB.
Dijelaskan Dr. Yos, kuesioner yang diberikan berisi pertanyaan untuk para responden mengenai setuju atau tidaknya masyarakat terhadap kebijakan ERP yang akan diterapkan. Pertanyaan yang diajukan juga mempertimbangkan tanggapan mereka terhadap alokasi pendapatan yang berasal dari kebijakan ERP. "Melalui kuesioner ini dapat diketahui bagaimana persepsi masyarakat, yang setuju dengan penerapan ERP, terhadap alokasi pendapatan dari kebijakan ERP," ujar dosen pada Kelompok Keahlian Pengambilan Keputusan dan Negosiasi Strategiitu.
*Masyarakat yang menjadi responden dalam kuesioner memiliki karakteristik pengeluaran yang digambarkan pada Grafik Kelompok Pengeluaran dimana mayoritas pengeluaran responden di atas Rp. 7,000,000,-. Klasifikasi responden berdasarkan daerah (calon) jalan berbayar yang sering mereka lalui selama aktivitas perjalanan sehari-hari dapat dilihat pada Diagram Jalan yang Dilalui Responden di mana kebanyakan responden pernah melalui daerah Jalan Rasuna Said, Jalan Sudirman, dan Jalan M.H.Thamrin.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil kuesioner yang telah dilakukan, menurut Dr. Yos, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden setuju dengan rencana implementasi kebijakan ERP. Jumlah responden yang setuju juga meningkat bila rencana implementasi kebijakan ERP didukung dengan kebijakan transportasi lainnya seperti perbaikan transportasi umum, peningkatan konektivitas jalan, perbaikan jalur pejalan kaki, dan kebijakan pendukung lainnya.
*Grafik terhadap penerimaan kebijakan ERP
Ia menerangkan, dengan menggunakan metode logistic regression, hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pengguna jalan akan memiliki kemungkinan lebih tinggi menerima kebijakan ERP jika penggunaan pendapatan dari ERP dialokasikan untuk, meningkatkan transportasi publik, (2) meningkatkan keterhubungan jalan, dan (3) melindungi lingkungan. Namun disisi lain pengguna jalan akan memiliki kemungkinan yang lebih tinggi menolak kebijakan ERP jika pendapatan dari ERP digunakan untuk mengurangi pajak kendaraan pribadi.
"Hasil survei juga menunjukkan bahwa responden sudah memahami tujuan kebijakan dari ERP yaitu untuk memindahkan moda transportasi dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Namun masyarakat masih menghadapi kebingungan tentang bagaimana cara kerja dan implementasi teknis dari ERP akan dilaksanakan, terutama pada penetapan tarif dan cara pembayaran," jelasnya.
Dr. Yos melanjutkan, para responden juga berharap fasilitas transportasi umum dan sarana pendukung, misalnya trotoar, penyeberangan jalan dan lain-lain, dapat diperbaiki/ditingkatkan terlebih dahulu untuk mendukung ketercapaian tujuan dari kebijakan ERP itu sendiri. "Sosialisasi teknis pelaksanaan kebijakan ERP perlu disebarluaskan lebih baik lagi sehingga kekhawatiran masyarakat terhadap hal-hal yang tidak diinginkan dalam penerapan ERP dapat dihindari," ungkapnya.
Penelitian independen ini didanai oleh Kemenristekdikti melalui Program Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT). Kedepannya, kata Dr. Yos, studi lanjutan akan dilakukan untuk memahami lebih dalam implikasi dari tarif ERP yang diterapkan terhadap perpindahan moda dan perubahan waktu keberangkatan berdasarkan data stated-preference yang diperoleh dari survei, dikombinasikan dengan data dari eksperimentasi laboratorium dan simulasi komputer.