Bioteknologi dalam Kesehatan: Dari Mencit Hingga Alpaka untuk Manusia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id--Global Product Manager for Stem Cells di Millipore Sigma, USA, Nick Asbrock menjelaskan, sel dalam tubuh manusia dapat diberdayakan sebagai salah satu metode mempelajari penyakit pada manusia.
"Jadi yang dilakukan ilmuwan dalam laboratorium adalah mempelajari aspek yang berbeda pada tiap penyakitnya melalui sel," ujarnya dalam acara Biotechnology Fair dari Prodi Magister Bioteknologi ITB, Senin (22/3/2022). Penjelasan Nick tersebut berkenaan dengan sel punca dalam bidang kesehatan.
Apa itu sel punca? Sel punca dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pluripotent stem cells atau yang bersifat embrionik, serta multipotent stem cells atau sel punca dewasa. “Perbedaan yang mendasar adalah bahwa pluripotent stem cells dapat terdiferensiasi menjadi berbagai sel dalam tubuh, sedangkan multipotent stem cells tidak,” tuturnya.
Salah satu metode yang umum digunakan dalam sel punca adalah menggunakan mencit. Dalam sel punca, salah satu produk yang krusial adalah ESGRO-LIF atau ESGRO Leukimia Inhibitory Factor. LIF adalah protein yang dapat ditambahkan ke kultur media untuk mempertahankan sifat pluripotent dari sel-sel punca mencit.
Bagaimana untuk menginduksi sel-sel punca pada manusia? Nick menjelaskan, tahap pertama yang dilakukan adalah mengambil biopsi dari pasien lalu menjadi iPS cells atau induced pluripotent cells. Sel-sel iPS memiliki semua sel punca yang bersifat embrionik, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan regeneratif atau penggunaan secara in vivo dan untuk pemodelan toksikologi penyakit dan drug screening atau penggunaan secara in vitro.
Nick menambahkan bahwa cetusan baru dalam pemanfaatan sel punca dalam bidang kesehatan adalah organoids; agregat sel yang diturunkan secara in vitro melalui primary tissue. Organoids memiliki kemampuan untuk memperbarui dirinya sendiri, mengorganisir sel itu sendiri, serta menunjukan fungsi-fungsi tertentu dari organ. “Ke depannya, organoids diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu drug screening platform guna memprediksikan respon spesifik pasien terhadap terapi yang didapatkan,” tegasnya.
Nanobodies dan SARS-CoV 2
Sesi selanjutnya dibawakan oleh Phillip Pym, Senior Research Officer at Walter & Eliza Hall Institute of Medical Research mengenai nanobodies. “Nanobodies adalah domain pengikat antigen terkecil yang didapatkan secara alami atau natural.” Ditambahkan olehnya bahwa nanobodies ini dapat ditemukan di llama, alpaka, dan ikan-ikan dengan tulang rawan. Nanobodies diketahui memiliki efisiensi yang lebih besar dalam mengikat molekul-molekul pada patogen jika dibandingkan dengan antibodi konvensional.
Salah satu keuntungan terbesar dari penggunaan nanobody adalah dapat dimodifikasi dengan mudah. Hal ini karena ukuran nanobody yang lebih kecil jika dibandingkan dengan antibodi konvensional. Selain itu, nanobody juga dapat memberikan fungsi dalam mengidentifikasi struktur protein dengan fungsi tambahan berupa menstabilkan struktur protein yang kompleks dan besar.
Terkait dengan COVID-19, ada beberapa therapeutic antibodies yang sudah disetujui. Antara lain adalah Etesevimab yang mereduksi hingga lebih dari 70% angka rawat inap, Regn CoV2 yang mereduksi 59% jumlah pasien gawat darurat, serta GSK Sotrovimab yang mereduksi 85% angka rawat inap.
Phillip menyatakan bahwa saat ini tengah dikembangkan terapi nanobody dengan metode inhalasi.Phillip juga berujar bahwa nanobodies bekerja secara spesifik untuk SARS-CoV-2 RBD. Selain itu, cara kerja dari nanobodies tersebut adalah dengan memblokir hubungan antara RBD dan ACE2, yang mengakibatkan virus tidak bisa masuk ke dalam sel tubuh.
Reporter: Athira Syifa P. S. (Teknologi Pascapanen, 2019)