Brain-Machine Interfaces, Harapan dan Solusi untuk Membantu Kehidupan para Penderita Penyakit Otak
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Perkembangan sains dan teknologi yang semakin maju telah membuahkan berbagai solusi yang dapat mengatasi keterbatasan manusia. Telah tercipta berbagai inovasi teknologi yang dapat membantu manusia mengatasi keterbatasan karena penyakit serius seperti kelumpuhan yang disebabkan oleh kelainan otak seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS), spinal cord injury (SCI), dan stroke. Untuk membantu manusia dalam menghadapi berbagai penyakit tersebut, terciptalah Brain Machine Interface.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB) menyelenggarakan Workshop Series LPPM ITB Volume 8 Tahun 2022 dengan tema "Brain-Machine Interfaces: Controlling Devices with Mind”. Materi pada acara ini dipaparkan oleh Dosen Peneliti, Pusat Artificial Intelligence, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung, Nur Ahmadi, Ph.D., pada hari Rabu (31/8/2022).
Brain-machine interface (BMI) merupakan sebuah perangkat yang dapat menerjemahkan informasi saraf menjadi perintah yang mampu mengendalikan perangkat lunak atau perangkat keras eksternal seperti komputer atau lengan robot. BMI sering digunakan sebagai alat bantu hidup untuk individu dengan gangguan motorik atau sensorik.
”Teknologi BMI dapat mendeteksi aktivitas neuron dengan menggunakan sensor sangat kecil yang ditanam di dalam otak. Lalu sensor ini akan mendeteksi spike atau sinyal otak yang melebihi ambang batas tertentu,” papar Nur. Sinyal input yang paling banyak dimanfaatkan oleh teknologi BMI adalah sinyal single signal activity (SUA).
“Namun, SUA juga memiliki berbagai kelemahan, di antaranya adalah ketidakstabilan SUA dalam jangka panjang yang dapat menurunkan performa dan akurasi dari teknologi BMI. Bukan hanya itu, pemrosesan SUA sangatlah kompleks. Untuk menganalisa satu perintah, peneliti setidaknya harus mengklasifikasikan 150 aktivitas single neuron dan akhirnya menyebabkan proses yang lama serta pemakaian daya yang berlebihan,” terang Nur.
Untuk mengatasi kelemahan dari SUA, Nur dan para peneliti di Pusat Artificial Intelligence STEI ITB menciptakan entire spiking activity (ESA) sebagai alternatif sinyal yang lebih sederhana dan stabil.
Untuk membuktikan efektivitas serta kredibilitas dari entire spiking activity (ESA) dibanding single signal activity (SUA), dilakukanlah eksperimen dengan subjek kera. “Kera diinstruksikan untuk mengikuti pergerakan kursor pada komputer. Kemudian, pada saat yang sama pergerakan jari serta sinyal dari otak kera direkam menggunakan sensor dan diproses untuk mendapat sinyal ESA dan SUA untuk memprediksi gerakan kursor,” jelasnya.
Ia memberikan kesimpulan, setelah diteliti lebih dari 10 bulan, hasil eksperimen menunjukkan bahwa sinyal ESA menghasilkan prediksi gerakan kursor jauh lebih akurat dan stabil daripada sinyal SUA.
Hasil dan bukti nyata dari entire spiking activity (ESA) dan teknologi Brain Machine Interface adalah memungkinkannya terjadi komunikasi antarmanusia via aplikasi chat menggunakan keyboard yang dikendalikan langsung oleh pikiran penggunanya masing-masing. Selain itu, teknologi ini juga dapat memudahkan penggunanya untuk mengontrol robot tangan untuk membantunya memberi minuman. “Teknologi BMI ini dapat membantu kehidupan para pasien amyotrophic lateral sclerosis (ALS), spinal cord injury (SCI), dan stroke. Kesimpulannya, teknologi BMI ini dapat menjadi harapan dan solusi untuk para penderita penyakit otak,” pungkas Nur.
Reporter: Yoel Enrico Meiliano (Teknik Pangan, 2020)