Butet Manurung Ajak Mahasiswa ITB Belajar dari Masyarkat Rimba
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id –Kuliah Umum Studium Generale KU-4078 Institut Teknologi Bandung menghadirkan Saur Marlina Manurung atau yang lebih akrab disapa Butet, Rabu (23/9/2020), untuk berbagi dengan mahasiswa melalui kuliah umum berjudul Panggilan Kemanusiaan untuk Generasi Muda secara daring. Kegiatan ini dibuka oleh Prof. Dr. Ing. Ir. Widjaja Martokusumo dengan moderator Ir. Hendri Syamsudin M.Sc., Ph.D.
Dalam sambutannya, Prof. Widjaja menyampaikan terima kasih kepada Butet yang telah bersedia mengisi kegiatan Studium Generale kali ini. Selanjutnya Ir. Hendri Syamsudin M.Sc., Ph.D., memaparkan profil singkat dari Butet yang telah mendidik anak-anak di padalaman Jambi. Perjalanan itu pun berhasil dibukukan dengan judul Sokola Rimba yang kemudian dijadikan film dengan judul yang sama.
Kuliah umum ini dimulai dengan cerita Butet mengenai pengalamannya mendirikan Sokola Rimba yang bermula di pedalaman Jambi. Tugas kuliah membawanya datang ke sana untuk melakukan penelitian tentang bagaimana melakukan pendidikan untuk masyarakat nomaden. Saat pertama kali tiba di sana, ia tidak memungkiri bahwa cukup kaget dengan cara berpakaian masyarakat adat yang baginya saat itu “aneh”, dan ia menyadari bahwa pikirannya saat itu salah.
Butet menyatakan bahwa kebanyakan dari orang-orang yang datang ke masyarakat adat membawa sindrom hero dalam dirinya, seolah-olah paling tahu apa yang terbaik untuk masyarakat adat. Justru saat datang ke tempat yang baru jangan mudah judging mengenai kebiasaan atau hal-hal yang baru ditemui. Justru jika menemukan hal-hal baru dan asing, tanyakan hal itu kepada masyarakat setempat.
Setelah berbaur dengan masyarakat rimba di Jambi, Butet sampai pada kesimpulan bahwa untuk memberikan akses pendidikan kepada anak-anak rimba ada dua pilihan yang dapat dilakukan. Pertama adalah anak-anak rimba yang mendatangi sekolah dan mengharuskan mereka meninggalkan hutan. Kedua adalah ada guru yang mengikuti mereka berpindah-pindah. Ibu Butet kemudian memutuskan untuk menjadi guru bagi masyarakat rimba Jambi saat itu.
Yang menarik dari pemaparan Butet adalah ada perbedaan yang besar antara tujuan pendidikan di masyarakat perkotaan dengan masyarakat adat. Orang kota cenderung memandang pendidikan untuk investasi di masa depan, sedangkan bagi masyarakat adat pendidikan itu seharusnya dapat diaplikasikan langsung di kehidupan sehari-hari.
Selain itu, sekolah formal dengan kurikulum nasional tidak mengakomodir cara belajar lokal dan sifat alamiah dari masyarakat setempat. “Misalnya saja, sekolah formal mengharuskan murid untuk duduk diam di kelas, sedangkan anak-anak adat hidup terbiasa di alam bebas. Jika mengikuti kebiasaan belajar di dalam kelas, kecakapan mereka di alam bebas bisa hilang. Oleh sebab itu pula, sekolah formal dianggap sebagai sekolah untuk pergi, karena semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin jauh dia dari adat-istiadat dan realitas di sekitarnya,” ungkapnya.
Ia mengatakan, masyarakat adat membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai kebenaran yang mereka anut. Peran anak muda adalah terjun langsung ke lapangan, berbaur dengan masyarakat setempat sehingga bisa memandang dari sudut pandang mereka sehingga dapat menemukan metode pendidikan yang sesuai.
“Sekolah harus memberi manfaat untuk kehidupan saat ini, bukan masa depan. Karena dengan kita memelihara hari ini kita memelihara masa depan,” ucap Butet mengutip kepercayaan orang rimba Jambi.
*Video Studium Generale Bersama Butet Manurung dapat dilihat melalui tautan ini https://www.youtube.com/watch?v=RBalIs-N5Oo
Reporter: Indah Lestari Madelin (Teknik Lingkungan 2016)