Danau Towuti, Mengungkap Sejarah Iklim Purbakala

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

Dana Towuti

BANDUNG, itb.ac.id – Terletak di Sulawesi Selatan, Towuti adalah danau air tawar terbesar kedua di Indonesia. Terbentang seluas 561.1 km2, Danau Towuti memiliki kedalaman maksimum 203m. Disamping itu, Danau Towuti yang terletak pada ketinggian 293m di atas permukaan laut juga memiliki lima pulau.

Tergabung dalam gugusan sistem danau Malili, Danau Towuti menghubungkan provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Sumber air dari danau ini berasal dari beberapa mata air yang ada di area sekitarnya yang dihubungkan oleh 26 sungai.

Sebuah penelitian yang dilakukan pada Danau Towuti telah dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature Communications. Studi ini melibatkan institusi dari beberapa negara seperti Jerman, Kanada, Swiss, Denmark, Amerika Serikat, dan tentu saja Indonesia.

Sebagai salah satu penulis pendamping dari studi ini, Prof. Satria Bijaksana, professor bidang Kemagnetan Batuan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mendiskusikan topik penelitiannya di Pameran Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ITB (LPPM ITB) pada 20 Desember 2022. “Di bidang saya, saya melihat hal yang paling dekat dengan kita. Saya tergabung dalam grup geofisika global,” kata Prof. Satria.

“Kami mencoba untuk mencari topik yang paling dekat dengan kita. Jadi ini cukup mudah untuk saya menjelaskan topik penelitian yang saya lakukan. Satu gunung, satu Ph.D. Satu danau, satu Ph.D. Satu sungai, satu Ph.D. Kami memiliki sebuah Ph.D., mengenai Danau Singkarak yang terletak di Sumatra Barat. Kami memiliki sebuah Ph.D., di Bromo. Kami memiliki empat sampai lima Ph.D., mengenai Danau Towuti,” tambahnya. Ada beberapa mahasiswa doktoral yang tertarik mempelajari Danau Towuti karena status danau ini sebagai salah satu danau purbakala di dunia.

“Lokasinya yang berada di Indonesia tengah juga menghadirkan kesempatan penting untuk merekonstruksi perubahan paleoklimatologi terestrial jangka panjang pada daerah yang sangat krusial namun jarang dipelajari, - kolam hangat Pasifik Barat, jantung dari El Niño-Southern Oscillation,” ucap penulis pendamping lainnya, Henrik Vogel, seorang Profesor Sedimen Geokimia dari Institut Ilmu Geologi dan Pusat Penelitian Perubahan Iklim Oeschger, University of Bern, Swiss.

Kolam hangat Pasifik Barat sendiri adalah perairan terbesar di dunia dengan air laut permukaan terhangat yang dapat melebihi 28?. Karena air di daerah ini cukup hangat untuk melambungkan panas dan uap air tinggi ke atmosfer, kolam panas ini memiliki efek yang masif terhadap iklim daerah sekitarnya. Aspek ini juga memiliki peran penting dalam regulasi sistem musim hujan untuk banyak negara di Asia dan Afrika yang berdampak langsung kepada hampir separuh populasi dunia. Oleh karena itu, penelitian-penelitian Danau Towuti memiliki ketertarikan sendiri yang sangat unik.

“Danau Towuti juga memiliki tingkat keragaman flora dan fauna endemik yang tinggi dan dikelilingi oleh hutan hujan tropis dengan keragaman hayati tertinggi di dunia, menjadikannya salah satu pusat keragaman hayati Asia Tenggara. Susunan geologi daerah sekitar Danau Towuti yang mengandung batuan ultrabasa (ophiolitic) dan tanah laterit menyediakan substrat mineral yang kaya. Kandungan mineral ini menyokong ekosistem penuh keragaman hayati untuk spesies-spesies mikroba eksotis yang tinggal di perairan dan sedimen Danau Towuti. Ekosistem ini mungkin dapat dibuat analogi sebagai ekosistem mikroba yang hidup di Lautan Archaea atau di Planet Mars,” tambah Vogel.

Gambar peta Indonesia (A), ilustrasi formasi geologis Sistem Danau Malili di Pulau Sulawesi dengan Danau Towuti sebagai danau terbesarnya (B), peta batimetri Danau Towuti (C)

Sebagai danau purbakala, iklim pada zaman geologis purba (paleoclimate) dari Danau Towuti dapat dipelajari melalui kandungan sedimennya. “Sebagai bagian dari Towuti Drilling Project (TDP) yang tergabung dalam International Scientific Drilling Program (ICDP), kami mengumpulkan sampel sedimen dari kedalaman 156m, jauh di bawah kedalaman oxycline pada waktu pengeboran,” ucap André Friese, penulis pertama dari penelitian ini.

Danau Towuti memiliki air teroksigenasi sampai kedalaman 70m, dan setelah 130m oksigen terlarut tidak dapat ditemukan sama sekali. Kondisi perubahan konsentrasi oksigen yang drastis ini disebut dengan oxycline. Menariknya, di bawah 130m, air dari danau ini kaya dengan besi terlarut.

“Deposit dari sedimen yang mengandung besi (ferruginous sediment) sering ditemukan pada zaman Archaean dan Proterozoic, aspek ini memainkan peran penting dalam siklus biogeokimia dunia,” ucap Friese, yang mendapatkan Ph.D., dari GFZ Pusat Penelitian Geosains Jerman.

Hasil analisis menunjukkan jika sedimen terbentuk dengan ketebalan 19cm setiap beberapa ribu tahun sekali. Hal ini mengartikan bahwa sedimen dengan kedalaman 12 meter awal menyimpan informasi iklim dari sekitar 60 ribu tahun yang lalu.

Analisis geokimia menunjukkan jika sedimen Danau Towuti kaya dengan karbon organik. Penelitian yang melibatkan 17 ilmuwan itu berhasil mengungkap proses mineralisasi unsur hayati di sedimen ferruginous Danau Towuti. Pada ketebalan 12m awal sedimen terjadi reduksi unsur besi dan sulfat, dan juga proses methanogenesis atau produksi metana. Proses-proses tersebut berperan dalam proses mineralisasi unsur hayati dengan methanogenesis sebagai proses dominan yang terjadi (90%).

Meskipun memiliki kandungan besi yang sangat tinggi, besi hanya berkontribusi sekitar 8% pada proses mineralisasi unsur hayati. Friese mengatakan, “pada waktu yang sama, ini juga mengungkapkan jika besi yang ditemukan pada sampel sedimen hanya stabil dalam kurun waktu beberapa puluh ribu tahun.”

“Mirip dengan proses reduksi besi, reduksi sulfat juga hanya memainkan peran kecil di proses mineralisasi unsur hayati. Namun demikian, perlu digaris bawahi, hasil pengamatan yang menunjukkan jika reduksi sulfat tertahan pada inti sedimen mengkonfirmasi kereaktifan mikroba terhadap unsur hayati di sedimen-sedimen ini,” kata Friese.

Mikroba di sedimen Danau Towuti memproduksi metana (methanogenesis), yang merupakan komponen utama gas rumah kaca. Kandungan gas rumah kaca yang tinggi diperkirakan berhubungan dengan kondisi iklim Bumi sekitar 3 miliar tahun yang lalu. Efek gas rumah kaca purbakala Bumi mengakibatkan pemanasan tambahan untuk planet (disamping kondisi efek gas rumah kaca sekarang) yang cukup untuk mengimbangi cahaya matahari yang redup kala itu (dikenal dengan faint young sun paradox).

Studi lebih lanjut pada Danau Towuti dapat mengungkapkan banyak informasi berharga. Harapannya studi perubahan iklim yang tersimpan di sedimen Danau Towuti dapat digunakan bukan hanya untuk melihat masa lampau, namun juga untuk memprediksi masa depan.

Penerjemah: Favian Aldilla (Teknik Sipil, 2019)

Sumber: https://www.nature.com/articles/s41467-021-22453-0