Dialog Tentang Kampanye dalam Pemilu: Menjadi Pencerahan Pemikiran Bersama

Oleh alitdewanto

Editor alitdewanto

BANDUNG, itb.ac.id - Dalam hitungan beberapa bulan lagi, Indonesia akan mengadakan perhelatan akbar Pemilu 2009. Namun, banayak sekali ditemui ketidaktahuan dan ketidakpedulian dari beberarapa agen, seperti mahasiswa. Padahal sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa diharapkan bersikap aktif dan antusias dalam perhelatan ini. Itulah yang mendasari Kantor Wakil Rektor Kemahasiswaan dan Alumni ITB (Kantor WRMA ITB) untuk menggelar diskusi yang bertajuk Dialog Antara ITB dan Pimpinan Partai Politik di Jawa Barat tentang Kampanye dalam Pemilihan Umum. Lebih khusus lagi, dialog ini merupakan sarana untuk menjembatani sosialisasi dari parpol dengan para mahasiswa undangan yang memiliki antusiasme akan nasib bangsa yang akan ditentukan oleh hasil Pemilu. Acara yang diadakan di Meeting Room Lantai 2 Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, tanggal 20 Desember 2008, ini secara resmi dibuka oleh Rektor ITB, Djoko Santoso. Hadir pula sebagai pembicara pembuka WRMA ITB, Widyo Nugroho Sulasdi mengenai maksud dan tujuan acara.

Sebanyak tiga puluh delapan parpol hadir. Masing-masing parpol diminta untuk menjabarkan visi-misi dan kebijakan mutu yang diusung selama sepuluh menit. Ideologi yang diusung pun juga beragam seperti nasionalisme, agama, hingga sosialisme. Sebagai contoh, Mulyadi A. Putra yang mengawangi Partai Demokrasi Kebangsaan memaparkan visi partai mewujudkan pemerintahan yang bersih, serta organisasi peemrintahan yang ramping. Pun, Mulyadi memosisikan ideologi partai sebagai partai tengah yang tidak cenderung ke ideologi tertentu. Lain lagi dengan Partai Republika Nusantara yang dipresentasikan oleh Yunus Situmorang. Yunus memaparkan visi partai ini sebagai pioner partai modern yang handal. Kebijakan mutu yang ditawarkan ialah mengoptimalkan peran partai guna meraih kepercayaan total dari masyarakat luar.


Di pertengahan acara, pengamat politik FISIP UNPAR, Sumagiyo berkesediaan memberikan komentar. Menurutnya, diolog ini merupakan salah satu ajang konsepsi pendidikan politik dasar, baik bagi mahasiswa maupun parpol itu sendiri. Pendidikan poltik dasar yang penting namun belum disinggung seperti bagaimana menghormati dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan bagaimana menghargai orang lain ketika berbicara.
" Hendaknya ini menjadi suatu pencerahan pemikiran bersama bahwa harus ada konsistensi dari berbagai visi-misi dan ideologi yang ditawarkan." ujarnya. Sebagai contoh, partai yang mengusung nasinalisme tidak pernah berangkat dari isu kedaerahan seperti isu etnik yang masih krusial. Indonesia ini terbentuk dari beberapa etnis yang saling berbeda satu sama lain. Jadi kebijakan naasional pun harus mempertimbangkan kebijakan daerah pula. Masalah ideologi pun hendaknya juga diperhatikan pula dari sudut pandang daerah, jangan melulu mengandalkan pusat saja. Sampai saat ini, Sumagiyo mengamati banyak parpol yang masih mengandalkan kekuatan pusat saja. Hal ini, menurutnya akan mengakibatkan parpol-parpol tersebut kurang mampu menunjukkan cita-citanya, hanya sekedar asal menang, asal dapat jatah kursi saja.


"Saya berharap pencerahan ini menjadi pelajaran untuk tidak mengulang kesalahan di pemilu sebelumnya." tegasnya. "Saya juga berharap agar parpol-parpol tidak sekedar menjadi ajang arisan saja. Rame kalau mau pemilu, namun mengkeret sesudahnya."