Dies Emas ITB : Persimpangan Budaya Tradisional dan Kontemporer dalam Fine Art and Design Conference

Oleh prita

Editor prita

BANDUNG, itb.ac.id - Sebagai penutup dari rangkaian konferensi internasional dalam rangka peringatan Dies Emas ITB, Fine Art and Design Conference berlangsung pada Jumat-Sabtu (19-20/06/09) di Aula Timur dan Campus Centre ITB. Konferensi ini mengangkat tema "the Shifting from Traditional to Contemporary Culture". Seni visual, desain, tradisi maupun budaya dari berbagai sudut pandang menjadi bahasan dalam konferensi.

Peralihan (shifting) budaya menjadi sorotan. Jika beberapa dekade lalu budaya tradisional dianggap kuno, berbeda halnya dengan saat ini. Budaya tradisional seolah mengalami masa Renaissance-nya. Elemen tradisional kini menjadi bagian dari budaya kontemporer, misalnya pada pakaian-pakaian bergaya western yang berbahan batik. Demikian pula dengan seni grafis dan desain yang banyak mengadaptasi tradisi Asia. Peralihan juga terjadi dalam media visual yang berkembang ke arah audiovisual. Pemanfaatan media audiovisual tersebut sendiri bervariasi, mulai dari ekspresi seni, dokumentasi, hingga kepentingan akademis.

Hadir sebagai keynote speaker dalam konferensi yaitu Endo Suanda. Endo Suanda adalah seorang praktisi di bidang seni tari, dosen, sekaligus penulis. Dalam papernya, Endo Suanda mengatakan bahwa saat ini masyarakat tengah dihadapkan pada persimpangan-persimpangan kultur yang kesemua cabangnya harus dilalui. Hal yang membingungkan terjadi ketika kita harus memilih antara lokal dan global, pelestarian dan modernisasi, ataupun konvensional dan kebebasan.Kondisi tersebut dikatakan sebagai kompleksitas atau paradoks global.

Endo menyebutkan beberapa unsur kebudayaan yang selama ini banyak mengundang salah kaprah. Salah satu poin tersebut yaitu suatu budaya tidak dapat dimiliki oleh grup tertentu secara spesifik. Budaya bersifat terbuka pada migrasi - yang mungkin membawa kultur lain yang dapat memperkaya budaya tersebut, ataupun pengadopsian oleh grup lain. Maka, pemetaan, pengkategorian, atau labelling suatu budaya ada lebih berdasarkan pada politik daripada fakta. Hal yang ditekankan oleh beliau adalah bagaimana kaum intelektual dan akademika dapat berkontribusi dalam meningkatkan ketertarikan publik untuk mengetahui, mempelajari, dan mengapresiasikan berbagai variasi dari budaya tradisional.

Budaya + Kreatifitas = Komoditas Ekonomi?

 

Mengutip pernyataan Michel Picard dan Robert E. Wood (1997), Ananda Moersid, invited speaker dari IKJ, menulis dalam papernya bahwa hanya budayalah - baik etnik, nasional, ataupun regional, yang mampu mengubah kualitasnya menjadi "komoditas yang dapat dipasarkan". Selain memiliki nilai, kebudayaan memiliki potensi mendongkrak perekonomian. Masyarakat perlu menggunakan seluruh pengetahuan, kemampuan, dan bakatnya sebisa mungkin pada jalur yang paling menguntungkan.

Arsitek Museum Tsunami Aceh, Ridwan Kamil, ST, M. Arch, yang juga menjadi pembicara dalam konferensi juga mengambil ekonomi sebagai salah satu aspek pendorong kreativitas masyarakat. " Dengan kreativitas, masyarakat dapat menghidupi dirinya sendiri," demikian ujar beliau dalam presentasinya yang turut memaparkan program society development yang tengah beliau jalani. Ridwan juga menggaris bawahi komunitas sebagai fokus perkembangan budaya masa depan.

Kendati demikian, pandangan berbeda diungkapkan oleh Dr. David Teh, kurator, kritikus film, dosen, dan penulis berkebangsaan Australia. Dalam konferensi, Teh menyampaikan hasil analisisnya mengenai kecenderungan karya audiovisual di Indonesia yang memuat unsur observasi dan sintesis image. Ditemui di sela-sela acara, beliau beranggapan bahwa budaya dan kreatifitas seharusnya dipandang lebih dari sekedar komoditas ekonomi. Teh mengambil sampel yaitu petani di Indramayu yang mendapat keuntungan dari bercocok tanam dengan teknologi modern. Unsur pengembangan teknologi lah yang seharusnya banyak dieksplor. Dikhawatirkan, jika berangkat dari segi ekonomi, budaya akan kehilangan esensnya.