Diklat Pers dan Jurnalistik 3 Pers Mahasiswa ITB

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

Pers Mahasiswa ITB kembali menyelenggarakan Diklat Pers dan Jurnalistik pada 4-5 Februari 2006. Hadir sebagai pembicara wartawan dari Tempo, Gatra serta tim artistik dari The National Geographic Magazine Indonesia. Kegiatan tahunan yang diadakan untuk yang ketigakalinya ini dihadiri oleh sekitar 60 peserta, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung serta beberapa kalangan masyarakat umum. Di awal diklat peserta disuguhi pembicaraan mengenai foto jurnalistik. Hadir sebagai pembicara untuk sesi ini adalah Rohmat, wartawan foto dari Tribun Jabar. Dalam sesi ini Rohmat banyak membagikan pengalaman mengenai apa itu fotografi jurnalistik serta bagaimana membuat sebuah foto yang bernilai jurnalistik. Etika dalam pemasangan foto banyak disinggung dalam sesi tanya jawab: sejauh mana sebuah foto dikatakan vulgar, sadis, atau porno. Dua sesi selanjutnya seharusnya diisi oleh Bambang Harimurti, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo -seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Namun karena tiba-tiba Bambang membatalkan janjinya, sesi ini diisi oleh Rana, wartawan Tempo biro Bandung. Rana memberikan ulasan mengenai etika pers dan jurnalistik serta manajemen penerbitan pers. Dalam sesi etika pers dan jurnalistik, Rana banyak membagikan pengalamannya berkenaan dengan etika pers dan jurnalistik selama menjadi wartawan sejak 1997. Dalam sesi manajemen penerbitan pers, lulusan S2 Komunikasi Universitas Padjajaran ini memberikan bentuk manajemen penerbitan Tempo. Yang unik dibahas adalah mengenai garis api, yaitu garis yang memisahkan antara seksi redaksi dan seksi non-redaksi. Pada garis ini kerap muncul konflik, antara hendak mengungkapkan kebenaran kepada publik dengan mempertahankan sponsor atau partner bisnis. Rana sendiri membeberkan beberapa pengalaman Tempo mengalami konflik pada garis api ini. Manajemen penerbitan pers mahasiswa juga banyak disinggung, terutama karena umumnya pers mahasiswa memiliki kesulitan dari segi jumlah orang maupun segi pendanaan. Hari kedua diklat diisi oleh pemaparan mengenai penulisan berita investigasi oleh Taufik Abriansyah dari Majalah Gatra. Koordinator peliputan Majalah Gatra ini memberikan cara-cara menginvestigasi suatu isu. Dalam sesi tanya jawab isu mengenai nurani wartawan yang kerap mengutamakan peliputan diatas 'rasa kemanusiaan' muncul sebagai pembahasan yang menarik. Selanjutnya adalah sesi mengenai penataan grafis serta segi artistik majalah. Hadir sebagai instruktur adalah Lambok, ketua tim artistik National Geographic Magazine Indonesia. Alumni DKV ITB angkatan 1995 ini membahas mulai dari pemilihan font, warna font, warna latar, hingga masalah cover. Yang banyak dibahas juga adalah -sesuatu yang menjadi ciri Majalah National Geographic- ilustrasi grafis sebagai pelengkap atau pengganti naskah naratif. Ilustrasi grafis memang akan lebih deskriptif n lebih mudah dibaca, namun pembuatannya memerlukan kompromi antara peliput dengan desainer grafis -yang kerap kali alot. Yang unik, bahkan tim artistik harus menentukan pola dan alur mood pembaca. Mereka merancang dan bahkan memainkan emosi pembaca. Tujuannya adalah membuat pembaca tertarik dan tidak lelah. Sesi penutup diklat adalah sesi mengenai tata bahasa dan teknik editing. Roni Ruslandar hadir sebagai pembicara; membawakan berbagai isu seperti perbedaan tata bahasa majalah, koran, dan media-media lain. Redaktur bahasa Majalah Gatra ini juga memberikan bagaimana membuat artikel yang menarik, lengkap, tapi juga ringkas. Yang unik dalam diklat Pers Mahasiswa ITB ini adalah menghadirkan pembicara dari tiga media cetak yang berbeda sekaligus: Tempo, Gatra, dan National Geographic Indonesia -sesuatu yang amat jarang terjadi.