Komunitas Suara ITB, Menghidupkan Budaya Jurnalisme Mahasiswa ITB
Oleh
Editor
Geliat media massa saat ini, baik cetak maupun elektronik, menggugah beberapa komunitas pers mahasiswa ITB untuk me-review kembali gagasan tentang letak dan posisi jurnalisme mahasiswa. Hal ini terlihat sejak 3 bulan lalu ketika sekelompok mahasiswa yang merupakan perwakilan beberapa media pers mahasiswa di ITB berkumpul dalam sebuah forum yang mereka namakan SARAPIT (Sarasehan Pers ITB). Menurut Press release dari situs Keluarga Mahassiwa (KM-ITB), sebenarnya usaha ini sudah diusahakan sejak 2 tahun lalu. Namun geliat ke arah tersebut baru terlihat dalam 3 bulan ini.
Sejak pertemuan pertama, SARAPIT sendiri lebih kepada tujuan mendasar untuk membangkitkan kembali gairah menulis populer di kalangan mahasiswa yang dinilai semakin memudar. Bahkan komunitas ini telah menyempatkan waktunya untuk mengunjungi Yogyakarta. Kunjungan yang berlangsung 7 Januari lalu tersebut bertujuan mempelajari dan menimba pengalaman dari pers-pers mahasiswa di Yogyakarta, yang memang dikenal sebagai salah satu basis pers mahasiswa yang kokoh di Indonesia.
Keberangkatan ke Yogyakarta tersebut mewakili Komunitas Media Suara ITB, yang telah diresmikan10 Desember 2005. Selain sebagai sebuah forum, komunitas ini juga memiliki kantor berita sendiri bernama Suara ITB dan sebuah blog (http://suaraitb.wordpress.com/). Komunitas ini merupakan kolaborasi dari berbagai elemen pers mahasiswa di ITB, yaitu Radiokampus ITB, Ganesha TV, Radio 8eh, Majalah Ganesha, Persma ITB, Lentera Gamais, dan di gagas oleh Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) KM-ITB. Salah seorang tokoh sentral dalam penggagasan tersebut adalah Menteri Depkominfo KM-ITB, Trian Hendro A.
Sebagai langkah awal, pada hari Kamis, 26 Januari 2006 Komunitas Media Suara ITB mengadakan diskusi terbuka tentang "Pers Mahasiswa : Posisinya di Masa Kini". Pembicara utama yang diundang adalah Bambang Harimurti dari Majalah Tempo. Diskusi ini berlangsung di ruang multimedia GKU timur ITB.
Dalam diskusi yang berlangsung sejak 08.30 WIB tersebut, pembicaraan mengalir kepada seputar kondisi pers umum di Indonesia dan letak strategis pers mahasiswa itu sendiri. Pembahasan juga menyinggung kondisi pers mahasiswa Indonesia saat ini yang bergaya lifestyle in campus. Menurut Bambang sendiri ada pers mahasiswa seharusnya dapat hadir sebagai alternatif media yang urban dan dekat dengan masyarakat, dimana saat ini berbagai media cetak dan elektronik telah bertaruh dalam kerangka bisnis media yang sangat besar. Namun tidak dapat dipungkiri kondisi ini memang mengalir begitu saja. Bambang sendiri mengkategorikan ada 3 bentuk media pers saat ini, yaitu Pers Tradisional yang cenderung konservatif, Pers Transisi dimana berada dalam lingkungan mulai berkembang hingga Pers Modern atau Pers Masa Depan. Namun sangat penting dipahami, bahwa nilai-nilai fundamental sebagai pembawa informasi bagi masyarakat adalah mutlak dimiliki oleh ketiganya. Karena Pers adalah kepercayaan masyarakat, kepercayaan rakyat, bahkan masyarakat cenderung lebih percaya dengan tulisan pers dari pada pengumuman pemerintah.
Kondisi media pers Indonesia saat ini memang bertarung dibalik perkembangan teknologi dan kondisi pasar yang semakin bebas untuk media pers. Diakhir diskusi Bambang mengedepankan saran-saran khusus untuk menyiasati hal tersebut. Yaitu dimulai dengan mengenal Teknologi Komunikasi. Berbagai media pers dan journal saat ini memang lebih hidup menyuarakan aspirasinya lewat Internet. Murah, praktis dan mendukung "Citizen Journalism", yaitu menghidupkan budaya menulis dan juranalisme di dalam masyarakat.
Tentang kondisi Pers Mahasiswa di ITB sendiri, dengan berbagai ragam dan bentuk, merupakan kekayaan sendiri dalam menyuarakan opini kritis mahasiswa terhadap lingkungan sekitarnya. Bentuk ragam yang memang kokoh dengan visi dan misi masing-masing. Dan memang, ternyata jalan menuju Komunitas Media Suara ITB sendiri penuh liku dan perdebatan. Perbedaan paradigma dan sudut pandang. Terutama dalam aktualisasinya, dimana perdebatan yang sama masih berada pada lingkaran perbedaan pendapat dan paradigma. Belum lagi diselingi pertanyaan tentang budaya menulis di kalangan civitas Akademika ITB, terutama Mahasiswa.
Semoga niat baik ini bukan menyebabkan kemunduran pers mahasiswa di ITB dan hanya menjadi sekedar perang kepentingan. Kembali kepada niat awal yang baik, yang sangat fundamental, "Menggairahkan Kembali Budaya Menulis di Kampus Ganesha Ini".