Diskusi Bersama Aneswara Project, Menyelami Tantangan Pendidikan Melalui Laskar Pelangi

Oleh Rayhan Adri Fulvian - Mahasiswa Teknik Geofisika, 2021

Editor M. Naufal Hafizh

Aneswara Project hadirkan diskusi Disparitas Pendidikan Indonesia, Jumat (2/8/2024). (Dok. Aneswara Project)

BANDUNG, itb.ac.id - Aneswara Project menggelar acara refleksi novel "Laskar Pelangi" dengan tema Disparitas Pendidikan Indonesia, Jumat (2/8/2024). Acara ini menghadirkan dua narasumber yang berdedikasi dalam isu pendidikan, yaitu dr. Sharon, dokter yang juga penggiat literasi dari @bookmajestic, dan Faris Hafizh Makarim, mahasiswa Master of Economics and Education dari Columbia University. Diskusi ini dimoderatori oleh Gibran Hikam, mahasiswa S1 Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) sekaligus Marketing Manager Sakola Kembara Bojong.

Melalui acara ini, peserta mendapatkan wawasan mengenai tantangan pendidikan di Indonesia dan cara berkontribusi untuk memperbaikinya.

Adapun Aneswara Project berkontribusi bagi sumber daya manusia di Indonesia melalui gerakan sosial yang mendorong pembudayaan lingkungan akademik. Inisiatif proyek ini mencakup pengembangan kualitas dan aksesibilitas literasi masyarakat melalui beberapa hal, di antaranya klub buku, diskusi, pengembangan akses, dan inisiatif sosial.

dr. Sharon berbagi analisisnya terhadap Novel “Laskar Pelangi”. (Dok. Aneswara Project)

Novel "Laskar Pelangi" karya Andrea Hirata menyoroti disparitas pendidikan di Indonesia. Sejak terbit pada tahun 2005, buku ini mengungkap tidak meratanya akses pendidikan antara kota besar dan daerah terpencil. dr. Sharon membahas perjuangan SD Muhammadiyah yang terancam tutup jika tidak mendapatkan minimal 10 murid baru. Tokoh utama, Ikal, dan temannya, Lintang, yang sangat pintar namun terhambat keterbatasan fasilitas dan biaya, menggambarkan perjuangan keras di tengah ketimpangan pendidikan.

“Buku ini mengajarkan kita tentang semangat dan keteguhan untuk berjuang demi pendidikan, meskipun di tengah segala keterbatasan,” ujar Sharon.

Isu pendidikan yang dibahas meliputi kondisi finansial, kesehatan masyarakat yang kurang, dan kurangnya dukungan keluarga. Perbedaan fasilitas antara SD Muhammadiyah dan sekolah PN Timah sangat mencolok. Murid dan guru di SD Muhammadiyah dituntut lebih kreatif, namun siswa berpotensi tidak dapat mengembangkan kemampuan maksimalnya. Upah guru yang sangat kecil kerap harus disambi dengan pekerjaan lain, dan bangunan sekolah yang tidak memadai serta keterbatasan waktu belajar juga menjadi tantangan besar.

Faris mengajak peserta berdiskusi membahas disparitas pendidikan di Indonesia. (Dok. Aneswara Project)

Ketidaksetaraan pendidikan antara kota dan daerah salah satunya disebabkan oleh infrastruktur yang kontras. Meskipun pendidikan adalah hak setiap warga negara, 60% masyarakat Indonesia terbukti tidak mengikuti wajib belajar 12 tahun. Akses ke perguruan tinggi sulit serta mahal, gaji guru honorer seringkali jauh di bawah UMR, dan tingkat literasi Indonesia terendah dalam dua dekade terakhir, menjadi beberapa faktor mengapa kesetaraan pendidikan itu penting. Hal ini sangat terasa, terutama bagi anak-anak di daerah terpencil.

“Banyak anak yang masih belum mendapatkan akses pendidikan yang layak, dan kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan semakin lebar,” ujar Faris. Untuk mengatasi disparitas ini, perlu adanya peningkatan akses pendidikan, alokasi dana yang lebih baik, peningkatan kesejahteraan guru, program literasi, dukungan komunitas, dan inovasi dalam metode pengajaran, agar semua anak di Indonesia dapat memperoleh pendidikan yang layak.

Acara ini menjadi pengingat bahwa setiap individu memiliki peran dalam memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Dengan langkah kecil namun konsisten, harapan untuk pendidikan yang lebih inklusif dan merata bisa terwujud.

Reporter: Rayhan Adri Fulvian (Teknik Geofisika, 2021)