Diskusi Penanganan dan Pengelolaan Limbah E-Waste di Kota Bandung
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id–Laboratorium Buangan Padat dan B3, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) ITB mengadakan diskusi terbuka dengan para pemangku kepentingan di Kota Bandung untuk membahas tata Kelola limbah elektronik dan elektrikal di Bandung, Jumat (22/4/2022).
Stakeholder dalam permasalahan ini di antaranya pemerintah, produsen, pendaur ulang, dan BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup). Masing-masing mempunyai peran dan tanggung jawab dalam menghadapi isu ini yang semakin parah. Panitia acara ini telah mengundang beberapa stakeholder dari keempat bidang untuk menyimak dan menyuarakan gagasan mereka atas penanganan limbah B3 elektonik dan elektrikal.
Kepala Seksi Kerjasama Teknis Operasional, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung Deti Yulianti, S.T., M.T., menyatakan bahwa urusan E-waste masih tergolong penanganan baru bagi organisasi; kebanyakan fokus kepada penanganan limbah domestik/rumah tangga. Berdasarkan PP RI No. 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik, barang elektronik yang tidak digunakan lagi termasuk dalam sampah yang mengandung B3.
Di Kota Bandung, menurutnya, timbulan limbah B3 bisa mencapai 103,83 ton per hari atau 6.52% dari total timbulan sampah kota. E-waste terbanyak yang dihasilkan dari rumah tangga adalah aki mobil dan baterai. Saat ini, Kota Bandung belum memiliki regulasi spesifik mengenai pengelolaan sampah B3 dari seluruh sumber. Alur pengaturan E-waste sendiri masih belum dirancang matang di mana alirannya ditujukan ke sektor informal yang belum didata dan industri daur ulang.
“Upaya saat ini memang fokus terhadap sampah organik dan anorganik. Ke depannya akan fokus kepada B3 karena komposisinya cukup besar,” ujar Deti.
Deti menambahkan, pemerintah harus menyiapkan infrastruktur memadai untuk mendukung aktivitas pengelolaan sampah B3. Sinkronisasi kebijakan pengelolaan sampah juga harus segera dilakukan. Rencana untuk sistem pengumpulan limbah B3 telah dibuat secara sentralisasi maupun desentralisasi dengan bantuan kawasan berpengelola atau tidak berpengelola. Mewujudkan rencana-rencana tersebut ada tantangannya sendiri, contohnya pembiayaan operasional dan pemrosesan sampah.
Sesi berikutnya diberikan kepada Daniel Suhardiman, Sekretaris Jenderal Asosiasi Gabungan Pengusaha Elektronik Indonesia. Dari sudut pandang produsen, konsensus bersama 5 asosiasi telah dirancang dan dikirim ke Kementerian Perindustrian terkait sikap terhadap EPR LEE (Extended Producer Responsibility Limbah Elektronik-Elektrikal), yaitu AIPTI (Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia), AITII (Asosiassi Teknlogi Informasi Indonesia, APPI (Asosiasi Produsen Peralatan Listrik Indonesia, GABEL (Gabungan Pengusaha Elektronik), dan GAMATRINDO (Gabungan Industri Manufaktur Lampu Terpadu Indonesia).
“Kita menegaskan definisi produsen dan konsumen dalam permasalahan ini sebelum mendapat tanggung jawab, di mana para produsen mempunyai tanggung jawab untuk mengolah bahan baku menjadi produk yang mempunyai nilai tambah dan prosesnya sendiri sudah diatur oleh pemerintah dari sistem manajemen mutu hingga sistem pengelolaan limbah,” jelas Daniel.
Edukasi ke masyarakat mempunyai peran penting dalam meregulasi aktivitas. Produsen sudah terbebankan dengan peraturan ketat untuk menjaga lingkungan sehingga EPR tidak terlalu dibebankan kepada konsumen; akibatnya, masyarakat tetap membuang sampah sembarangan.
Di sisi lain, CEO Bank Sampah Bersinar, Fei Febri, mengatakan angka pengumpulan E-waste di Indonesia masih kecil dengan 2 juta per tahun. Melalui beberapa kampanye, mayoritas masyarakat menunjukkan keinginan kuat untuk mengelola E-waste dengan benar, tetapi kesadaran mereka untuk melalukan usaha masih minim. Tidak hanya mereka belum mengerti sepenuhnya dengan prosedur pembuangan, prosesnya sendiri belum jelas dan terputus-putus dari pengumpulan ke pengangkutan limbah.
E-waste memiliki potensi besar sebagai produktivitas baru dalam pengelolaan di mana mereka bisa dimanfaatkan atau dijual lagi. Nilai E-waste cukup tinggi, maka penting bagi semua stakeholders untuk ikut serta dalam pengembangan kebijakan dan mekanisme pengelolaan limbah tersebut. Dengan dukungan masyarakat, E-waste dapat diimplementasikan dalam skema EPR untuk pengelolaan efektif.
Reporter: Ruth Nathania (Teknik Lingkungan, 2019)