Djoko Sujarto : Maestro Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia

Oleh kristiono

Editor kristiono

Prof. Dr. Ir. Djoko Sujarto., Msc guru besar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB yang dikenal sebagai maestro perencanaan kota di Indonesia merupakan mahasiswa angkatan pertama Jurusan Tata Pembangunan Wilayah dan Kota ITB. Melanjutkan pendidikan Master dari Edinburg University dalam bidang Urban Design dan Doktoral ITB tentang Filosofi Perkembangan Kota Baru, Prof. Djoko merupakan pengajar yang produktif. Publikasinya tersebar dari Jurnal, Media massa dan buku-buku, salah satu bukunya Ia susun bersama Prof. Eko Budiharjo (Mantan Rektor UNDIP) berjudul Perencanaan Kota Baru. Beliau juga terlibat penulisan buku editorial berbahasa Inggris yang diterbitkan di Belanda. Rencananya, bulan Desember ini bukunya yang berjudul “Perencanaan Kota Baru” segera terbit.

Prof. Djoko Sujarto dilantik menjadi Guru Besar ITB tahun 1995, selain sebagai pengajar beliau juga menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FTSP periode 1985-1990. Tahun 1995-2000 menjadi Dekan FTSP. “Sayangnya, saya belum sempat jadi rektor”, candanya.
“Sewaktu saya masuk jurusan tahun 1959 mahasiswa Planologi ada 20 orang. Fresh dari SMA 7 orang, sisanya pindahan. Tren di ITB dulu, banyak mahasiswa yang ngga lulus-lulus di progam studinya, kalo ada jurusan baru mereka masuk di jurusan itu. Saya langsung dari SMA. Walau saya ikut tes jurusan Arsitektur, tapi karena minat saya di Perencanaan Kota, saya masuk Planologi”.

Di kalangan civitas akademik Planologi, Pak Djoko dikenal sederhana dan berdisiplin tinggi. Salah satu gaya hidup sederhana Prof. Djoko yang terkenal bahkan dikalangan Guru Besar ITB adalah hobinya jalan kaki. Kebiasaan jalan kaki Pak Djoko punya sejarah sendiri.

Masa Kecil Berpindah-pindah
“Saya masuk SD bulan Januari 1945, beberapa bulan sebelum revolusi. SD saya ada di Cimahi, waktu itu namanya HIS. Kelas dua SD saya pindah ke Bagusrangin. Saya sempat menyaksikan pertempuran memperebutkan Gedung Sate. Saya naik ke atap. Dari rumah ke Gedung Sate waktu itu masih sawah, jadi bisa lihat pertempuran dengan jelas. Beberapa kali saya menyaksikan tentara kita tumbang kena pelor. “Anehnya saya nggak ngerasa takut”, ujarnya sambil tersenyum.

“Setelah pertempuran, Belanda memberlakukan aturan kalau orang Indonesia harus tinggal dibagian selatan, sedangkan bagian utara khusus untuk orang Eropa. Pembatasnya rel kereta api”, kenangnya.

“Setelah ada peraturan, saya pindah ke Babakan Ciparay. Dari Ciparay saya ke Tasikmalaya. Sewaktu di Tasik, sempat diajar oleh Ibu Djohara, beliau akhirnya jadi rekan saya. Ibu Djohara melamar jadi Dosen ITB saat saya baru lulus beberapa bulan. Dari Tasikmalaya, Pak Djoko dan keluarga mengungsi ke Kaki Gunung Galunggung. “Nama pengungsiannya Kikisik”, imbuhnya.
Sewaktu tentara Siliwangi longmarch dari Tasikmalaya ke Djogjakarta, lagi-lagi Djoko Sujarto yang baru berumur 7 tahun bergabung dalam rombongan. “Jalan kaki makan waktu enam minggu, namanya ular atau binatang buas itu biasa” kisahnya.

Sepanjang jalan kami mengalami dua kali pertempuran di Bumiayu dan Banjarnegara, nyebrang Kali Serayu, motong jalan di Gunung Selamet. “Wah, pokoknya menyenangkan”, akunya. Cerita pengungsian belum selesai, pada bulan Desember 1948 Tentara Belanda menyerang Djogjakarta. Pak Djoko terpaksa pindah ke Bantul. Kisah pengungsian baru berhenti setelah pengakuan kedaulatan RI pada tahun 1949. Saya kembali ke Jawa Barat kelas 5 SD, dari situ saya masuk SMP lanjut SMA terus masuk ITB.

Ada juga cerita lucu soal kebiasaan jalan kaki. “Saya pernah dibuntuti mercy di Jalan Pagergunung!” Saya sempat khawatir, curiga kalo yang membututi saya itu bermaksud jahat. Ee..ternyata pengemudinya mahasiswi, dia sungkan mendahului”, kenangnya.

PKL Vs PKL
Bagi pejalan kaki, kondisi trotoar di Kota Kembang belum memberi kenyamanan. Bagaimana tidak trotoar yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki banyak di tempati PKL. Menurut Pak Djoko, jenis PKL di Kota Bandung tidak hanya satu. Ada Pedagang Kaki Lima, ada juga Parkir Kaki Lima! Meskipun sama-sama merugikan Para Pejalan Kaki, Pedagang Kaki Lima umumnya memperoleh perlakuan berbeda dari pemerintah dibanding Parkir Kaki Lima.

Jika PKL yang pedagang sering dikejar-kejar Satpol PP dan ditindak tegas, maka Parkir Kaki Lima lebih kendur. Padahal menurut Pak Djoko, Parkir Kaki Lima yang marak seiring perkembangan Factory Outlet, Restoran maupun Hotel, notabene milik pengusaha-pengusaha bermodal.

“Keduanya jelas sama-sama mengganggu kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki”, ujarnya.
Argumen beliau bukan tidak ada bukti. Suatu kali Pak Djoko pernah menyaksikan seorang Ibu di Jalan LLRE Martadinata (Jalan Riau) nyaris terserempet angkot karena trotoar yang seharusnya digunakan untuk pejalan kaki dimanfaatkan menjadi lahan parkir sebuah Rumah Sakit Bersalin.
“Jika Satpol PP banyak mengejar Pedagang Kaki Lima, Parkir Kaki Lima juga harus ditertibkan!” timpalnya.