Dosen ITB Lakukan Riset Pemanfaatan Serat Kelapa dan Kayu Jabon untuk Produk Plywood Hibrid

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*

Rudi Dungani, Ph.D (Foto: Adi Permana/Humas ITB)

BANDUNG, itb.ac.id -  Indonesia memiliki potensi pohon kelapa sebanyak 3,81 juta hektar yang tersebar di seluruh tanah air. Dari pohon ini, Indonesia pun memiliki potensi limbah khususnya serat kelapa sekitar 18,30 juta ton. Di Jawa Barat, daerah Ciamis menjadi salah satu daerah yang memiliki banyak pohon kelapa.


Di sisi lain, produksi kayu di Indonesia sudah mengalami penurunan. Seperti kayu jati yang membutuhkan 60 tahun untuk siap ditebang, sedangkan kebutuhan akan kayu semakin meningkat. Dengan memanfaatkan pohon jabon yang bisa siap panen kisaran umur 4-5 tahun saja, dapat menggantikan kayu jati tersebut sebagai veneer untuk kayu lapis (triplek). 

Berangkat dari masalah tersebut, dosen Teknologi Pascapanen, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, Rudi Dungani, Ph.D., melakukan riset tentang pemanfaatan serat kelapa sebagai bahan untuk kayu lapis dan juga pohon/batang jabon sebagai bahan pelapis (veneer) kayu. 

Kayu jabon (anthocephalus cadamba miq) dan serat kelapa saat ini tampaknya akan menjadi alternatif bahan baku yang paling layak dalam industri berbasis kayu. Dalam risetnya, Rudi meneliti komposit hibrida dengan menggabungkan lapisan batang Jabon dan serat kelapa dalam produk kayu lapis dan menganalisis propertinya. 

Tahap risetnya ialah sampel disusun menjadi kayu lapis hibrida lima lapis berdasarkan pengaturan serat kelapa yang terdiri atas tikar serat kelapa (HPWF) dan tikar serat non-anyaman kelapa (HPRF). Kayu lapis hibrida dengan ketebalan 14 mm di-press dingin dan di-press panas menggunakan resin urea formaldehyde (UF) dan phenol formaldehyde (PF).

*Foto: Dok. Rudi Dungani, Ph.D

Stabilitas dimensi dan sifat mekanik dari kayu lapis Jabon dan komposit kayu lapis hibrida lalu dianalisis. Hibridisasi serat kelapa dengan batang jabon, ternyata meningkatkan stabilitas dimensi dan sifat mekanik kayu lapis, seperti kerapatan, pembengkakan ketebalan, tekukan, dan penarikan sekrup, terutama untuk kayu lapis hibrida yang menggunakan PF. Demikian pula, HPRF juga menunjukkan peningkatan stabilitas dimensi dan sifat mekanik.

Hasil lainnya diperoleh, antarmuka ikatan lemah antara serat kelapa dan matriks formaldehida menyebabkan penarikan serat terjadi dalam komposit kayu lapis hibrida. Sementara analisis statistik menunjukkan bahwa penataan serat kelapa dari tikar anyaman dan tikar non-anyaman, jenis perekat UF dan PF memang mempengaruhi stabilitas dimensi dan sifat mekanik. Meskipun, interaksi antara keduanya tidak mempengaruhi kepadatan.

Rudi mengatakan, apabila dibandingkan dengan produk lain, kayu lapis (triplek) yang menggunakan serat kelapa dan batang jabon ini memiliki beberapa kelebihan yaitu, lebih murah, daya lenturnya lebih bagus karena ada fiber di dalamnya, potensi untuk diproduksi banyak, dan proses pembuatan juga lebih sederhana. “Karena untuk nyusun, kasih perekat, kita tempelin, kita press sampe jadi produk jadi hanya butuh waktu 1,5 jam,” kata Rudi Dungani ketika ditemui di Gedung Labtek VA, Kampus ITB Jatinangor (5/8/2019)

Penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam European Journal of Wood and Wood Products tahun 2019. Dipaparkan Rudi, hasil risetnya ini bisa mengurangi konsumsi kayu untuk pembuatan triplek. Misalnya jika saat ini membuat kayu triplek butuh 5 lapis kayu, sekarang bisa hanya 3 lapis saja dengan menggunakan serat kelapa. Dengan demikian, hutan lebih lestari. 

Ia juga berharap, hasil riset ini bisa diimplementasikan di industri. Namun semua pihak harus terlibat, mulai dari pihak industri itu tersendiri, peneliti, manajemen, dan masyarakat. 

“Maunya industri melirik ini menjadi sebuah peluang bisnis. Dan yang terlibat yaitu industri kelas menengah ke bawah dengan melibatkan masyarakat untuk mengumpulkan pohon/batang jabon dan serat kelapa itu sendiri. Jadi masyarakat juga terbantu ekonominya,” harapnya.

Reporter : Elisabeth Sirumapea (Manajemen 2020)