Dosen Peneliti ITB Sampaikan Peluang Emas Energi Alternatif Terbarukan Indonesia dengan Kelapa Sawit

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id — Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) ITB mengadakan Workshop Series. Mengangkat tema energi alternatif terbarukan, Workshop Series tersebut bertajuk Bioenergy: The Best Alternative to Fosil Fuels dengan narasumber Aqsha, Ph.D. Workshop Series ini dilaksanakan pada Rabu (20/07/2022) secara daring.

Aqsha, Ph.D. merupakan Dosen Peneliti Pusat Penelitian Energi Baru dan Terbarukan serta Dosen Teknik Kimia, Teknik Bioenergi dan Kemurgi, Fakultas Teknik Industri (FTI) ITB. Beliau mendapatkan gelar doktor Chemical & Petroleum Engineering di University of Calgary, Canada. Pada 2020 Aqsha mendapatkan Bronze Award untuk Invention & Inovation Award, The 19th International Expo, Malaysia, 2020.

Sejak Jumat (1/4/2022) bensin jenis Pertamax di Indonesia mengalami kenaikan sekitar 30% yang mendekati harga keekonomiannya. Dengan kata lain, bahan bakar di Indonesia masih disubsidi hingga 60%. Selama ini, kebutuhan energi dipenuhi oleh bahan bakar yang berasal dari batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Namun, seringkali harganya mengalami fluktuasi yang drastis disebabkan oleh kestabilan pasokannya dan lainnya. Hal itu menjadi tantangan bagi Indonesia kedepannya.

Aqsha, Ph.D. menyampaikan bahwa diperlukannya sumber alternatif untuk energi terbarukan. Salah satunya dari bahan nabati seperti tumbuhan atau yang sering disebut biofuel. Dibandingkan dengan bahan bakar yang biasa dipakai seperti minyak bumi, setidaknya biofuel memiliki tiga keunggulan; tidak akan habis dipakai, ramah lingkungan, serta proses pembuatan lebih aman dengan biaya lebih terjangkau. “Contohnya biodiesel dan bioavtur yang berasal dari minyak nabati seperti minyak sawit dan tumbuhan tropis lainnya, bioenergi tersebut tidak mengandung logam berat dan memiliki sulfur rendah sehingga ramah lingkungan. Selain itu, bahan bakar tersebut dapat dibuat dengan lebih aman dalam skala kecil maupun besar dan murah karena tanaman penghasil minyak nabati dapat tumbuh dengan mudah di seluruh Indonesia,” ujar Aqsha

Menurut Aqsha, Indonesia punya produksi minyak nabati hampir yang terbesar di dunia. Hal itu didukung dengan angka produksi minyak sawit sebesar 50juta ton di tahun 2021 dan volume ekspor mencpai 65% dari jumlah tersebut. Untuk kebutuhan dalam negeri, minyak sawit banyak digunakan untuk keperluan minyak goreng, bahan oleokimia, dan bahan baku biodiesel yang mencapai 35% dari total produksi. Total penggunaan minyak goreng di indonesia mencapai 8,95juta ton sedangkan jumlah produksi biodiesel dari minyak sawit adalah 7,34 juta ton.

Di ITB, para peneliti senantiasa melakukan trobosan-trobosan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di teknologi produksi bahan bakar nabati. Sejak tahun 2005, ITB berhasil menyumbang teknologi pembuatan biodiesel dari minyak sawit, yang saat ini digunakan sebagai campuran diesel hingga 30%. Selain itu, para peneliti ITB juga sedang melakukan komersialisasi teknologi produksi bensin dan bioavtur minyak sawit dengan menggunakan katalis produksi dalam negeri. ITB bersama beberapa institutusi swasta dan pemerintah telah mengembangkan teknologi bensin sawit pada skala pilot dan telah melakukan uji terbang bioavtur untuk pesawat CN 235 pada Oktober 2021 lalu. Selain pengembangan teknologi pembuatan bahan bakar dari minyak sawit, para peneliti di ITB juga terus mengembangkan teknologi biogas sebagai alternatif gas alam, teknologi produksi bioetanol dari tanaman tertentu, konversi sampah domestik menjadi energi, dan juga teknologi energi masa depan seperti hidrogen dan biocell.

Aqsha menyampaikan bahwa pengembangan teknologi bioenergi hingga tahap komersialisasi perlu didukung banyak pihak, misalnya dari segi dana riset, industri, dan konsumen untuk mencapai target bauran energi terbarukan. “jika kita berhasil membudidayakan minyak sawit sebagai salah satu energi alternatif, tentu kita akan meningkatkan daya tahan energi nasional, meningkatkan devisa, menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, dan menaikkan nilai tambah berbagai bahan mentah untuk produksi biofuel. Hal tersebut dapat menjadikan Indonesia sebagai epicenter perkembangan teknologi biofuel dunia.” Ujar Dosen Peneliti Teknik Bioenergi dan Kemurgi tersebut.

Reporter: Inas Annisa Aulia (Seni Rupa, 2020)