Dr. Elham Sumarga Bahas Pengelolaan Hutan Berkelanjutan pada PARE Spring School 2024
Oleh Anggun Nindita
Editor Anggun Nindita
BANDUNG, itb.ac.id - Institut Teknologi Bandung (ITB) didapuk menjadi tuan rumah Population, Activities, Resources, and Environments (PARE) Spring School 2024.
Pada tahun ini, PARE Spring School menggelar berbagai sesi kuliah dan diskusi dengan bahasan sustainabilitas lingkungan. Salah satunya adalah materi pengelolaan hutan berkelanjutan yang disampaikan oleh Dr. Elham Sumarga, S.Hut., M.Si., dari Kelompok Keahlian (KK) Ekologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB. Kuliah tersebut dilaksanakan pada Minggu (18/02/2024) dan bertempat di Gedung KOICA, Kampus ITB Jatinangor.
Dr. Elham menjelaskan, pengelolaan regulasi dan ekosistem hutan sangat diperlukan. Hal ini lantaran hutan memainkan peranannya dalam siklus iklim, pengontrol banjir, pemeliharaan kualitas udara, pemurnian air, dan perlindungan dari badai. Selain itu hutan juga menyimpan nilai karbon yang cukup tinggi dan memiliki nilai keanekaragaman hayati yang penting.
“Indonesia memiliki cadangan karbon terbesar di dunia, yang berkisar 75-80% dari total stok karbon dunia. Penyimpanan karbon ini dapat ditemui di hutan, gambut, bakau, padang lamun, hingga tanah. Akumulasi bahan organik sangat tinggi, terutama pada hutan bakau dan lahan gambut yang tertutup air. Kondisi tersebut memicu bahan organik dan sampah terurai lebih lambat,” paparnya.
Pemeliharaan stok karbon dapat menurunkan pelepasan emisi karbon ke atmosfer, mengurangi risiko bencana, dan mencegah perubahan iklim.
“Praktik pengelolaan hutan berkelanjutan yang bisa dilakukan adalah tebang pilih berdasarkan jenis pohon dan diameter batangnya, tebang tanam, rehabilitasi area pasca pertambangan, pencegahan kebakaran, mengalokasikan kawasan untuk konservasi keanekaragaman hayati, Corporate Social Responsibility (CSR) dan pembagian manfaat dengan masyarakat setempat, serta sertifikasi hutan,” bebernya.
Beliau menyebutkan untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dapat dibagi berdasarkan manajemennya, bukan berdasarkan jenisnya. Pembagian itu meliputi hutan produksi alami, hutan produksi buatan, hutan konservasi, dan hutan lindung.
“Kalau di hutan konservasi dan hutan lindung, tentu aspek lingkungannya harus lebih diperhatikan daripada hutan produksi. Di hutan konservasi, seperti konservasi koleksi plasma nutfah dan taman nasional, harus ada pengontrolan terhadap spesies invasif. Pada hutan lindung, contohnya di Gunung Geulis, perlu melibatkan masyarakat lokal terhadap pengelolaannya," jelasnya.
Salah satunya dengan menggiatkan agroforestry sehingga masyarakat bisa ikut menanam di wilayah hutan lindung dan memetik keuntungan,” lanjutnya.
Pada akhir sesi, ia menegaskan keberlanjutan itu muskil dicapai tanpa adanya kolaborasi antar berbagai stakeholders.
Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)