Dr. Hakim L. Malasan: Observatorium Bosscha Menjadi Center of Excellent Astronomi di Indonesia dan Asia Tenggara
Oleh alitdewanto
Editor alitdewanto
BANDUNG, itb.ac.id - Observatorium Bosscha baru-baru ini meraih penghargaan prestisius dari International Astronomical Union (IAU). IAU telah menyetujui pemberian nama-nama dari Asteroid 12176,12177,12178,12179 dengan nama-nama mantan Kepala Observatorium Bosscha ITB, yakni Prof. Dr. Bambang Hidayat, Dr. Moedji Rahardjo, Dr. Dhani Herdiwijaya, dan Dr. Taufiq Hidayat. Dr. Hakim L. Malasan, Kepala Observatorium Bosscha, ketika ditemui, menuturkan bahwa bentuk apresiasi ini membuktikan bahwa Observatorium Bosscha merupakan salah satu observatorium yang berpengaruh dan patut menjadi kebangaan nasional. "Pemberian penghargaan ini tentu saja merupakan momentum bagi bangsa Indonesia agar lebih diakui di mata dunia," ujar dosen Program Studi Astronomi ITB ini.
Center of Excellent
Sebagai orang tertinggi di Bosscha, Hakim memiliki visi untuk menjadikan Bosscha sebagai Center of Excellent Astronomi di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tingkat Asia Tenggara, saat ini Bosscha turut berpartisipasi memberikan bantuan kepada tiga negara yang sedang mengembangkan proyek observatoium penelitian astronomi yakni Malaysia, Filipina, Thailand. Bagi Indonesia sendiri, Bosscha diharapkan dapat menjadi pelopor pembangunan observatorium di daerah lain. Hal ini merupakan strategi agar ilmu astronomi dapat populer dan diketahui masyarakat luas.
Hakim juga menambahkan, Bosscha diharapkan dapat menjadi sarana mendidik calon scientist masa depan Indonesia. Hakim sangat meyakini bahwa astronomi dapat menjadi entry point dalam mendalami ilmu-ilmu lain seperti fisika. "Saya berkaca pada Jepang. Sebelum sains diajarkan, mereka terlebih dahulu diajari tentang fenomena-fenomena astronomi yang ada, seperti contoh tentang galaksi," terang mantan Ketua Program Studi Astronomi ini. "Ilmu astronomi cocok menjadi basic science nya," tambahnya.
"Selain itu, saya juga ingin kawasan Bosscha menjadi salah satu pelopor clearing house, baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara."
Beberapa terobosan yang telah dilakukan Hakim untuk mewujudkan visi tersebut antara lain penggunaan teleskop radio di samping teleskop optik, clustering komputer, penguatan jaringan komputasi, serta program jejaring pengamatan hilal bagi umat Islam. Hakim menambahkan untuk program hilal ini telah dimulai tiga tahun yang lalu dan didukung oleh pemerintah.
Polusi Cahaya
Hakim memandang bahwa polusi cahaya merupakan salah satu tantangan besar bagi perkembangan observatorium Bosscha ke depan. Salah satu penyebabnya ialah banyaknya pemukiman dan penerangan yang dibangun pada kawasan sekitar Bosscha. Arah penerangan yang tidak benar, lanjutnya akan bisa mengakibatkan langit akan semakin terang. Dengan demikian, benda langit yang harusnya secara alami dapat dilihat pada kondisi malam yang gelap, sudah tidak bisa dilihat dan dipantau lagi.
"Apalagi penggunaan lampu yang berlebihan akan semakin menggangu pengamatan bintang," tegasnya. Hakim sangat berharap agar adanya kesadaran masayarakat untuk menjaga kawasan Bosscha, tidak hanya berfokus pada perkembangan peraturan yang ada. Beberapa aturan perundangan serta peraturan daerah yang sudah ada sekarang masih diyakininya belum berjalan dengan optimal.
Bosscha Tiga Puluh Tahun Lalu
Hakim bersemangat sekali ketika diminta bercerita tentang Bossha semasa dia masih berstatus mahasiswa. "Banyak sekali perubahan kerika saya dulu mahasiswa, sekitar tiga puluh tahun silam," kenangnya. Peraih gelar doktor dari The University of Tokyo, Jepang ini menceritakan dulu ia sering melihat ratusan binatang ular hijrah dari suatu tempat ke tempat lainnya pada malam hari, di sela-sela melakukan pengamatan malam. Binatang yang masih familiar di benaknya juga antara lain berbagai macam burung, dan tupai. Hakim cukup menyayangkan pengalaman itu tidak lagi bisa dinikmati sekarang.
"Dulu kalau ingin mengunjungi Bosscha harus sore hari sudah sampai karena malam hari benar-benar gelap dan tidak ada jasa ojek, sangat diperlukan senter bila keluar dari gedung. Sekarang, bahkan tanpa senter dan tanpa ada lampu menyala, masih bisa kelihatan bila berjalan-jalan di luar," kenang Hakim.
Di akhir perbincangan, Hakim menegaskan Bossha tidak hanya diperuntukkan bagi civitas astronomi saja, melainkan milik seluruh civitas ITB bersama. Jadi, Hakim berharap, seharusnya seluruh civitas ITB tahu apa saja yang terjadi di Bosscha, sebelum masyarakat luar tahu.
Sebagai orang tertinggi di Bosscha, Hakim memiliki visi untuk menjadikan Bosscha sebagai Center of Excellent Astronomi di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tingkat Asia Tenggara, saat ini Bosscha turut berpartisipasi memberikan bantuan kepada tiga negara yang sedang mengembangkan proyek observatoium penelitian astronomi yakni Malaysia, Filipina, Thailand. Bagi Indonesia sendiri, Bosscha diharapkan dapat menjadi pelopor pembangunan observatorium di daerah lain. Hal ini merupakan strategi agar ilmu astronomi dapat populer dan diketahui masyarakat luas.
Hakim juga menambahkan, Bosscha diharapkan dapat menjadi sarana mendidik calon scientist masa depan Indonesia. Hakim sangat meyakini bahwa astronomi dapat menjadi entry point dalam mendalami ilmu-ilmu lain seperti fisika. "Saya berkaca pada Jepang. Sebelum sains diajarkan, mereka terlebih dahulu diajari tentang fenomena-fenomena astronomi yang ada, seperti contoh tentang galaksi," terang mantan Ketua Program Studi Astronomi ini. "Ilmu astronomi cocok menjadi basic science nya," tambahnya.
"Selain itu, saya juga ingin kawasan Bosscha menjadi salah satu pelopor clearing house, baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara."
Beberapa terobosan yang telah dilakukan Hakim untuk mewujudkan visi tersebut antara lain penggunaan teleskop radio di samping teleskop optik, clustering komputer, penguatan jaringan komputasi, serta program jejaring pengamatan hilal bagi umat Islam. Hakim menambahkan untuk program hilal ini telah dimulai tiga tahun yang lalu dan didukung oleh pemerintah.
Polusi Cahaya
Hakim memandang bahwa polusi cahaya merupakan salah satu tantangan besar bagi perkembangan observatorium Bosscha ke depan. Salah satu penyebabnya ialah banyaknya pemukiman dan penerangan yang dibangun pada kawasan sekitar Bosscha. Arah penerangan yang tidak benar, lanjutnya akan bisa mengakibatkan langit akan semakin terang. Dengan demikian, benda langit yang harusnya secara alami dapat dilihat pada kondisi malam yang gelap, sudah tidak bisa dilihat dan dipantau lagi.
"Apalagi penggunaan lampu yang berlebihan akan semakin menggangu pengamatan bintang," tegasnya. Hakim sangat berharap agar adanya kesadaran masayarakat untuk menjaga kawasan Bosscha, tidak hanya berfokus pada perkembangan peraturan yang ada. Beberapa aturan perundangan serta peraturan daerah yang sudah ada sekarang masih diyakininya belum berjalan dengan optimal.
Bosscha Tiga Puluh Tahun Lalu
Hakim bersemangat sekali ketika diminta bercerita tentang Bossha semasa dia masih berstatus mahasiswa. "Banyak sekali perubahan kerika saya dulu mahasiswa, sekitar tiga puluh tahun silam," kenangnya. Peraih gelar doktor dari The University of Tokyo, Jepang ini menceritakan dulu ia sering melihat ratusan binatang ular hijrah dari suatu tempat ke tempat lainnya pada malam hari, di sela-sela melakukan pengamatan malam. Binatang yang masih familiar di benaknya juga antara lain berbagai macam burung, dan tupai. Hakim cukup menyayangkan pengalaman itu tidak lagi bisa dinikmati sekarang.
"Dulu kalau ingin mengunjungi Bosscha harus sore hari sudah sampai karena malam hari benar-benar gelap dan tidak ada jasa ojek, sangat diperlukan senter bila keluar dari gedung. Sekarang, bahkan tanpa senter dan tanpa ada lampu menyala, masih bisa kelihatan bila berjalan-jalan di luar," kenang Hakim.
Di akhir perbincangan, Hakim menegaskan Bossha tidak hanya diperuntukkan bagi civitas astronomi saja, melainkan milik seluruh civitas ITB bersama. Jadi, Hakim berharap, seharusnya seluruh civitas ITB tahu apa saja yang terjadi di Bosscha, sebelum masyarakat luar tahu.