Dr Hamzah Latif: Jangan Bicara tentang Early Warning System Dulu

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

Dalam diskusi ilmiah yang dilaksanakan di Dept. Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Mineralogi ITB, di pengunjung tahun ini (31/12), Dr. Hamzah Latif mengungkapkan bahwa Penyebab utama jumlah korban gempa dan tsunami NAD dan Sumut menjadi begitu besar adalah pengetahuan masyarakat mengenai tsunami. Inilah yang menyebabkan ketua Program Penelitian Kelautan Dept. GM ITB ini berkata, "Jangan dulu bicara tentang early warning system dulu lah!" Memang logis yang dikatakan Latif. Masalah terbesar tsunami early warning system adalah dana. Dalam diskusi itu, beliau memberikan contoh pembangunan tsunami early warning sistem di Jepang. "Untuk memasang sebuah seismograf telemetri pada titik-titik patahan, dibutuhkan satu milyar yen! Jepang pun hanya baru menenggelamkan empat (seismograf macam itu)." tandasnya, "Sediakan triliyunan rupiah dulu baru omong tentang early warning system." Sistem peringatan dini jepang memang patut diacungi jempol, mulai alat-alat otomatis canggih, seperti pelampung pendeteksi arus, seismograf super sensitif, sistem komunikasi antar warga yang cepat dan rapat hingga sekian banyak rambu-rambu peringatan dan petunjuk evakuasi, tembok anti-tsunami, teropong pengamat tsunami di pantai dan pelabuhan. Jepang selalu memberikan pelatihan dan latihan evakuasi bagi para warganya di daerah yang rentan tsunami. Data-data statistik mengenai gempa yang paling kecil pun hingga kecepatan berlari tiap warganya pun secara berkala diambil. Secara keseluruhan, Jepang telah memiliki sistem peringatan dini yang rapat. Namun, yang perlu diingat, sistem peringatan dini itu tidak berarti tanpa adanya pengetahuan dan kesadaran akan bahaya tsunami dari manusia-manusianya. Jepang memang telah mendidik warganya mengenai bahaya tsunami. "Coba tanya anak kecil (di Jepang)," ujar Latif, "pasti dia tau (mengenai gempa dan tsunami)." Justru pengetahuan mengenai tsunami dan kesadaran akan bahayanya inilah yang menurut Dr. Hamzah Latif perlu diusahakan lebih dahulu di Indonesia. Early warning system tidak akan berguna kalau warganya tidak tahu mengenai ciri-ciri tsunami, jalur evakuasi, dan hal-hal yang perlu dihindari. Pak Latif lalu menyinggung mengenai cerita seorang warga NAD yang lolos dari terjangan tsunami bahwa saat tsunami datang, orang-orang malah menonton datangnya tsunami, mengambili ikan-ikan karena pantai yang surut tiba-tiba, merekam gambar. "Tsunami yang sedang menuju pantai itu malah jadi bahan tontonan," tandas beliau, "Coba lihat rekaman kamerawan amatir. Itu kan terlihat tsunami udah deket dan terlihat kepala orang-orang di tepi pantai, masih saja melihat-lihat. Gak sadar itu (tsunami itu) bahaya." Dari pada cuap-cuap mengenai sistem peringatan dini yang memang sangat mahal (dan skeptis bahwa Indonesia mampu membiayainya), beliau lebih mementingkan adanya pendidikan masyarakat. Selain itu, sistem komunikasi juga perlu diperbaiki. Pusat gempa di Hawai telah mendeteksi adanya gempa NAD –yang potensial menimbulkan tsunami- namun para peneliti di sana tidak tahu bagaimana menyampaikan bahaya ini ke daerah-daerah yang diperkirakan terkena tsunami tersebut. Masyarakat -pada daerah-daerah rentan tsunami, utamanya- perlu memahami betul ciri-ciri tsunami, apa yang perlu dilakukan bila terjadi tsunami, jalur evakuasi. Rambu-rambu peringatan dan petunjuk perlu dipasang. Dari sekian banyak langkah mitigasi tsunami, early warning system itu hanya salah satunya dan sebenarnya, merupakan langkah terakhir. Kalau early warnig system saja yang dipasang, akan percuma. Yang pertama harus dilakukan adalah pendidikan mengenai tsunami! krisna murti update 01/01/05 09.00