SOI International Conference on Tsunami
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
(24 Februari 2005)
Sebuah telekonferensi internasional mengenai tsunami dan peran universitas dalam penanganan bencana diadakan di gedung PAU ITB pada tanggal 24 Februari 2005. Symposium multi-negara ini diikuti oleh Universitas Tohoku (Jepang), Unibraw (Indonesia), AIT (Thailand),, serta ITB sendiri. Topik-topik yang dibicarakan dalam telekonferensi ini antara lain mengenai perbaikan infrastruktur pasca-tsunami, desain infrastruktur yang resistan terhadap tsunami, pendidikan mengenai gejala tsunami dan bencana alam lainnya, serta sistem Tsunami Early Warning System yang menjajikan dapat memberi peringatan sebelum datangnya tsunami.
Telekonferensi ini ditayangkan di Laboratorium Sistem dan Aplikasi PAU di dua layar yang berdampingan. Kendati terganggu oleh matinya listrik kampus antara jam 15.00-18.00, acara ini berlangsung tanpa gangguan teknis yang berarti.
Konferensi ini merupakan bagian dari proyek pendidikan digital SOI Asia. Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan pendidikan di negara-negara Asia dengan menggunakan teknologi digital dan internet.
Pembicara-pembicara yang mewakili ITB dalam telekonferensi ini adalah Dr. Hamzah Latief dan Dr. Syamsul Rizal, seorang professor Ilmu Kelautan dari universitas Syiah Kuala, Aceh. Rektor Institut ini, Prof. Djoko Santoso, juga hadir pada saat Universitas Tohoku memberikan pidato pertamanya. Sayangnya, Prof. Djoko tidak dapat mengikuti acara sampai akhir.
Pidato yang diberikan oleh Ikuyo Kaneko dari Tohoku ini membandingkan bencana tsunami yang kemarin melanda Asia dengan bencana kobejishin—gempa bumi raksasa yang terjadi di Kobe di dekade lalu. Hadirin dipertontonkan bangunan-bangunan yang runtuh akibat gempa tersebut. Bangunan-bangunan yang masih berdiri dijadikan sebagai tempat berlindung oleh para pengungsi yang telah siap dengan ransum dan bekal.
Kaneko melanjutkan pidatonya dengan luapan rasa kagum tentang teknologi telekonferensi dan perannya dalam pertukaran informasi. Harapan beliau, setiap negara yang ‘hadir’ dalam telekonferensi ini dapat bertukar informasi dengan sebaik-baiknya, agar penanganan bencana tsunami dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien.
Sebelum menyelesaikan pidato utama ini, Kaneko menghubungkan telekonferensi ini ke kantor Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi. Koizumi pun berharap banyak dari teknologi telekonferensi ini. “Diharapkan dapat meningkatkan kerja sama antar negara,” tuturnya.
Selanjutnya, acara diisi oleh pembicara-pembicara dari AIT (Asian Institute of Technology), Thailand. Mereka memberikan gambaran dampak tsunami ke infrastruktur negara mereka. Sistem pengolahan limbah cair mereka rusak; begitu pula dengan saluran-saluran air dan listrik. Selain itu, jalur-jalur transportasi seperti bandara, pelabuhan, jembatan, serta jalanan juga mengalami kerusakan yang sukup parah.
Thailand menyalahkan sebagian dari kerusakan ini kepada desain bangunan-bangunan infrastruktur lokal yang memang tidak mengantisipasi bahaya bencana alam. Menurut sang pembicara, Anat Ruangrassamee, kerusakan yang terjadi akibat tsunami Desember lalu dapat diminimalisir dengan bangunan yang lebih tahan terhadap bencana.
Sebagai penutup, Thailand mengundang Jepang—sebagai negara dengan pengalaman terbanyak dalam menangani tsunami dan bencana-bencana alam lain—dan Indonesia untuk membantu memecahkan masalah-masalah infrastruktur mereka. Sekali lagi, kerja sama diharapkan dapat diperkuat dengan adanya telekonferensi ini.
Pembicara dari Unibraw, Adi Susilo, melanjutkan pembicaraan dengan konsep penggunaan vegetasi lokal untuk mengurangi kerusakan yang terjadi karena tsunami. Adi memberikan contoh pulau Simeulue, sebuah pulau yang lebih dekat ke titik pusat tsunami. Pulau ini tidak mengalami kerusakan separah yang dialami Banda Aceh. Pulau ini dikelilingi oleh hutan bakau yang dapat menjadi buffer terhadap gelombang-gelombang besar.
Dari ITB, Syamsul Rizal menjelaskan dampak bencana tsunami Desember lalu kepada kota Aceh. Syamsul Rizal, seorang warga Aceh yang kehilangan istri dan kedua anaknya dalam bencana ini, memberikan data-data kehancuran fasilitas, kerusakan infrastruktur, dan jumlah kematian yang luar biasa. Beliau menjelaskan peran universitas Syiah Kuala dalam rekonstruksi kota Aceh. Syiah Kualatelah menandatangani perjanjian pembangunan ulang Aceh dengan universitas-universitas seluruh Indonesia, seperti UI, ITB, IPB, serta USU.
Pembicara selanjutnya dari ITB, Hamzah Latief, juga menyinggung database yang dikumpulkan ITB untuk meramalkan kejadian tsunami. Masalah utama di sini ini adalah minimnya data aktual yang terkumpul. Sensitiivitas alat yang masih kurang, serta kurangnya jumlah alat, tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan oleh database tersebut. Secara teknis memang cukup menantang untuk memasang alat-alat seismografis di bawah laut. Belum lagi pertimbangan finansialnya.
Hamzah menjelaskan pula mengenai periode ulang tsunami. Dari data statistika yang dikumpulkan (misalnya: sebelum tsunami 2004 ini, sebuah tsunami raksasa juga melanda daerah Asia pada tahun 1833), kita dapat menyimpulkan bahwa tsunami terjadi setiap 200 atau 220 tahun sekali. Ini merupakan periode ulang tsunami untuk daerah Asia.
Hamzah menyimpulkan bahwa sistem peringatan dini yang diperkenalkan oleh ITB harus diperbaiki dalam pelaksanaannya. Selain itu, Indonesia butuh memberi penyuluhan mengenai penanganan bencana bagi para penduduknya.
Indonesia juga meminta agar telekonferensi serta pertukaran informasi terus dilaksanakan antara negara-negara yang terkena tsunami. Diharapkan masalah-masalah pasca-tsunami dapat teratasi dengan kerjasama yang baik.
Pandu WS