Dr. Ir. Basuki E. Priyanto, MEng: Alumni ITB Pemegang Belasan Paten Algoritma termasuk 4G
Oleh Nida Nurul Huda
Editor Nida Nurul Huda
Salah satu paten itu adalah algoritma dalam heteregenous networks untuk teknologi telepon genggam generasi keempat (4G). Ia mendesain algoritma agar telepon pintar mampu memproses sinyal yang diterima (kendati mengalami banyak interferensi atau sinyal pengganggu) sehingga tetap bisa menerima data dengan kecepatan tinggi.
Menurut Basuki, teknologi 4G memiliki banyak tantangan. Di satu sisi terdapat besarnya permintaan data berkecepatan tinggi, sementara di sisi lain sangat banyak interferensi akibat sel-sel base-station yang saling bertumpukan.
Nama Basuki beserta tim tercatat pada belasan paten melalui perusahaan tempatnya dulu bekerja, Ericsson AB, dan Huawei Technologies Sweden AB, tempatnya kini bekerja. Di Huawei, ia menjadi spesialis senior yang memimpim tim kecil beranggotakan lima-enam peneliti multinasional. Tim tersebut bertugas untuk mendesain algoritma agartelepon pintar memiliki performa tinggi namun dengan energi yang seefisien mungkin.
Kiprah Basuki di Eropa
Basuki mulai berkiprah di Eropa sejak 2005. Ia mendapat beasiswa sebagai mahasiswa program doktoral di bidang komunikasi nirkabel di Aalborg Universitet, Denmark. Saat itu penelitiannya didukung Nokia Siemens Network. Setelah lulus tahun 2008, ia tiba di persimpangan jalan, antara mengabdi di dunia akademik atau terjun ke dunia industri. Aalborg Universitet menawarinya pascadoktoral, tetapi Basuki pun berpeluang bekerja di dua perusahaan besar, Nokia di Finlandia atau Ericsson di Lund, Swedia.
Akhirnya,ia memilih dunia industri karena dirasa penuh dinamika dan memberikan peluang lebih untuk berinteraksi dengan teknologi tepat guna. Ia memutuskan untuk bekerja pada Ericsson AB, di Swedia. Keputusannya itu berdasarkan pertimbangan riset 4G di Ericsson AB ataupun di Swedia umumnya terbilang maju.
Bekerja di lingkungan multinasional di Eropa membuatnya tertantang. Ia harus mampu berkomunikasi lintas budaya sekaligus berbicara langsung ke pokok persoalan. Hal ini karena sistem organisasi di Eropa Utara umumnya "datar", tak hierarkis, sehingga komunikasinya terbuka. "Dalam banyak hal, ini membuat kami bekerja lebih efisien," katanya.
Mimpi Menjadi Produsen
Salah satu kunci sukses Basuki ialah tak cepat menyerah. Saat pertama kali melamar posisi doktoral di Aalborg Universitet, ia sempat ditolak. Namun, beberapa minggu kemudian ia kembali melamar di universitas yang sama dan diterima. Selain itu, diperlukan ketekunan dan fokus pada pekerjaan. Basuki merasa kerja keras itu terbayar saat berhasil menemukan teknologi yang akan eksis di masa depan lebih cepat dibandingkan orang lain. Apalagi saat ide itu diterapkan di telepon genggam dan digunakan jutaan orang. "Itu kebanggaan," kata Basuki yang tak lantas berpuas diri. "Apa yang saya raih belum seberapa dibandingkan ribuan paten 4G yang sudah ada."
Di sisi lain, dia mengaku ada hal yang kurang menyenangkan berkiprah di Eropa. "Saya enggak enak karena bekerja di luar negeri," katanya. Ini membuatnya tinggal jauh dari keluarga, terutama orangtua. Oleh karena itu, salah satu tantangannya adalah bagaimana ia bisa berkiprah di Indonesia meski hal itu relatif masih sulit karena Indonesia masih sekedar konsumen. Ia menilai pemerintah belum banyak berupaya untuk membuat Indonesia lebih mandiri di sektor telekomunikasi.
Namun, hal tersebut tak membuatnya berdiam diri. Basuki mencoba kemungkinan membangun pusat desain dan penelitian berskala internasional di Indonesia. Ia mengajak anggota Diaspora Indonesia lain yang berpotensi dan punya keahlian serupa untuk berkolaborasi. Ia berharap hal ini bisa terwujud.
"Indonesia itu pangsa pasarnya besar, tetapi sejauh ini hanya sebagai pengguna. Dari sisi teknologi, kita mengikuti apa yang sudah dikembangkan di luar negeri. Sebenarnya banyak orang Indonesia yang berpotensi, tetapi belum menemukan wadah," katanya.
Kendati jauh dari Tanah Air, Basuki berusaha berkontribusi untuk Indonesia. Misalnya, saat pulang, ia menyempatkan diri memberikan kuliah umum di beberapa universitas, seperti Institut Teknologi Bandung dan Telkom University. Ia ingin membuka wawasan mahasiswa agar termotivasi untuk belajar dan bersekolah lebih tinggi, sekaligus percaya diri.
Dia juga punya "mimpi" agar orang Indonesia yang tinggal di luar negeri dan tergabung dalam Diaspora Indonesia bisa membangun wadah jejaring global. Di jejaring ini, anggota Diaspora Indonesia bisa saling berkomunikasi, terutama mengenai potensi masing-masing.
Semoga harapannya terwujud dan Indonesia tak lagi menjadi konsumen belaka.
Sumber : Harian Kompas Jumat,10 Januari 2014
Sumber Foto : tekno.kompas.com