Dr. Ir. Surjamanto W., MT.: Prototype Vertical Lightguide, Manifestasi Kebermanfaatan dari Cara Pandang Berbeda

Oleh Mega Liani Putri

Editor Mega Liani Putri

BANDUNG, itb.ac.id - Bergesernya pola tinggal manusia dari nomaden menuju kehidupan menetap membuat perubahan signifikan terhadap tren kontruksi tempat tinggal manusia di seluruh dunia. Mulai dari fungsionalitas, jumlah pemakai, ekonomi, isu energi, hingga estimasi umur bangunan menjadi hal yang penting dalam suatu proses kontruksi. Seiring kian tersentuhnya preferensi spesifikasi suatu bangunan, bermunculan pula inovasi terkait komponen-komponen bangunan itu sendiri. Salah satunya adalah apa yang tengah dilakukan oleh Dr. Ir. Surjamanto W., MT., yang meneliti Prototype Vertical Lightguide berupa Prisma yang membantu dan mengoptimasi penerangan dalam gedung bertingkat melalui pencahayaan alami matahari. Lelaki yang akrab disapa Pak Sur oleh mahasiswanya ini yakin prototipenya mampu mengurangi konsumsi energi berlebih.

Sebagai Respons atas Keprihatinan

Penelitian bertajuk "Prototype Vertical Lightguide untuk Pencahayaan Alami pada Gedung Berlantai Banyak" ini dimulai Surjamanto pada tahun 2011 yang melibatkan beberapa mahasiswa S2 dan rekan-rekan timnya. Selain aktif memberi perkuliahan bagi mahasiswa S1 dan Pascasarjana Arsitektur ITB, ia dengan topik keilmuan Urban Thermal Environment juga tergabung dalam Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Bangunan Arsitektur ITB. "Adanya perubahan dari natural environment menjadi built environment oleh dan pada bangunan, menyebabkan berbagai fenomena yang tidak diinginkan, seperti boros energi dan sebagainya," terang Lelaki asal malang tersebut.

Menurutnya, selain lemahnya optimasi potensi lokal, ada pula praktik pemborosan energi oleh gedung-gedung bertingkat terkait penggunaan listrik untuk pencahayaan ruangan. "Salah satu konsumsi energi itu untuk pencahayaan, padahal Indonesia sangat kaya akan sinar matahari," ungkap Surjamanto. Hal ini menjadi dilematis mengingat kebutuhan era percepatan ekonomi Indonesia yang membutuhkan gedung-gedung bertingkat dalam menjalankan roda ekonomi. Adapun krisis energi yang dihadapi Indonesia kelak menjadikan kebutuhan teknologi pengendali lingkungan sebagai sesuatu yang mendesak. Selain karena keprihatinannnya atas masalah ini, tren pencahayaan ruangan secara artifisial yang banyak meninggalkan permasalahan dan upaya pengembangan pencahayaan alami pada ruangan mendorong Doktor yang menamatkan pendidikan S3 di ITB ini melakukan riset tersebut.

Lima Siklus dan Terus Berlanjut

Vertical Lightguide yang dirancang Surjamanto bersama timnya memiliki elemen utama berupa prisma yang dikombinasikan dengan perangkat lain sehingga memungkinkan terjadinya proses penerusan dan pengarahan sinar matahari kedalam ruang-ruang bangunan bertingkat. Bentuk prototipe ini kemudian ditempatkan secara vertikal pada sisi bangunan mirip seperti teknik side opening (konvensional) yang menggunakan jendela atau sejenisnya. Namun, jarak jangkau cahaya melalui teknik Vertical Lightguide lebih baik daripada melalui jendela yang sangat terbatas. Hal ini terjadi diantaranya akibat optimasi distribusi, posisi, dan efek fisika dari pencahayaan dalam ruangan dan kaitannya dengan sumber cahaya itu sendiri. "Kalau sebelumnya hanya hingga beberapa meter, ini (Prisma) bisa mencapai 8 meter," contoh Surjamanto.

Penelitian ini dijalankan dalam lima masa siklus dengan objek penelitian yang berbeda-beda. Pada siklus pertama, ia dan tim memulai riset dengan meninjau kinerja prisma dan segala hukum serta teori fisika yang berkaitan, seperti hukum Snellius tentang pemantulan cahaya. Masa kedua dihabiskan dengan pengkajian lebih lanjut terkait efektifitas sebuah prisma yakni, lama waktu pelayanan optimum dari sudut datang cahaya matahari yang berubah terhadap waktu. Siklus selanjutnya, fokus beralih pada komposisi dan segmentasi rancangan prisma yang dibuatnya.

Sedangkan, pada siklus keempat, disadari bahwa diperlukan perangkat berupa cermin untuk menjaga kestabilan intensitas cahaya yang masuk kedalam prisma. Barulah, pada siklus terakhir, rancangan prisma ditinjau dan dibandingkan antara konsep statis dan dinamis. Kedudukan prisma pada rancangan dinamis akan secara sensorik bergerak mengikuti sudut datang yang optimum dari sinar matahari, dan sebaliknya untuk konsep statis. Prototipe ini akan masuk industri jika semua persyaratan sudah terpenuhi. Oleh karenanya, terus diperhatikan kualitas terukur seperti efisiensi dan efektifitas dalam setiap siklus yang dijalani Surjamanto dan tim.

Cara Pandang Berbeda dan Pesan Untuk Mahasiswa

Dalam penelitian yang sedang diurus hak patennya ini, Surjamanto mengaku tidak mendapati hambatan yang berarti. Menurutnya, yang ada hanyalah tantangan yang justru memberinya motivasi untuk menaklukannya. Ia menilai ini hanya tentang cara pandang masing-masing manusia. Sedangkan untuk biaya, ia mengaku bahwa ITB dan Pemerintah sangat membantu penelitiannya. Terkait urgensi akan penelitian oleh mahasiswa, Surjamanto berpesan agar seluruh mahasiswa berani memulai penelitian. Penelitian saat ini tak harus dilakukan dari awal, ada banyak penelitian sebelumnya untuk dipelajari dan dikembangkan.

Bagian terpenting dari penelitian ini menurutnya adalah kreativitas. "Kalau kita memandang prisma hanya untuk mengalirkan cahaya, itu tidak kreatif, tapi kalau kita mencampurnya dengan cermin dan optimasi tercapai lebih baik, itu kreatif," jelas Surjamanto. Pun dengan keprihatinan, terdapat cara pandang berbeda yang bukan hanya sekedar merasa iba melihat sesuatu yang salah tetapi juga mampu mengidentifikasi kesalahan dan berusaha menemukan apa yang seharusnya benar. Tentu kedua hal ini harus diusahakan dengan ketekunan agar mampu mendeterminasi mahasiswa menjadi insan yang maju. Hal inilah yang dimaksud Surjamanto sebagai kepandaian.

"Kalau orang tidak pandai, dengan modalpun belum tentu bisa berkarya, lain halnya dengan orang pandai yang selalu mengusahakan karya bahkan dengan tanpa modal," tekan Surjamanto.

 

Sumber foto: Valentino dan Wonorahardjo (2014)

Bayu Prakoso
ITB Journalist Apprentice 2015