Dr. Oce Madril: Kita Harus Berusaha Lebih Keras dalam Pemberantasan Korupsi

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Dr. Oce Madril. (Foto: Dok. Humas ITB)



BANDUNG, itb.ac.id – Mengapa korupsi harus diberantas menjadi pertanyaan pembuka yang disampaikan oleh Dr. Oce Madril, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, sebagai narasumber pada kuliah umum Studium Generale KU-4078 pada Rabu (20/11/2019) di Aula Barat ITB. Oce mengatakan sudah banyak sekali kasus korupsi yang sangat merugikan masrayakat baik yang dampaknya dirasakan secara langsung maupun jangka panjang.

Ia mencontohkan, salah satu kasus korupsi yang memiliki dampak kerugian besar adalah kasus korupsi e-KTP. “KTP itu merupakan hak paling mendasar kita sebagai penduduk, identitas kita. Hampir seluruh pengurusan berkas membutuhkan e-KTP sebagai berkas pendukung. Itu baru satu kasus, belum lagi korupsi di bidang lainnya,” ujarnya.

Menurutnya, pemberantasan korupsi punya peran menyelamatkan masyarakat, menyelamatkan fasilitas-fasilitas publik, dan menyelamatkan pembangunan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi sangat penting dilakukan sehingga perlu usaha lebih keras dari semua pihak. 

Oce juga mengatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2003 sudah menganggap korupsi sebagai extraordinary crime. Maksudnya adalah karena dampak dari korupsi dapat menganggu keberlangsungan berbagai sektor seperti human security, kualitas hidup masyarakat, pelayanan publik, demokrasi, dan sektor ekonomi.

“Apakah kita bisa keluar dari ancaman tersebut (korupsi)? Sekarang coba Anda bayangkan bagaimana bupati dan gubernur bisa membangun suatu daerah apabila mereka merasa APBD adalah haknya seorang dan jabatan adalah miliknya? Sehingga, ketika ada orang yang menginginkan jabatan tersebut orang harus membelinya dan sayangnya, hal itu terjadi. Hal ini mencemaskan, karena adanya peningkatan jumlah kepala daerah yang di OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK. Adanya keterlibatan kepala daerah dalam praktik transaksi jabatan, alokasi dana untuk layanan publik, dan APBD disalahgunakan,” jelasnya.

Oce juga memberikan data yang bersumber dari TRACE Internasional untuk mengukur risiko penyuapan dalam bisnis di 200 negara ASEAN. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa terjadi trend peningkatan di Indonesia dari tahun 2016 hingga 2019. Indonesia juga dinilai sebagai negara yang memiliki kerentanan terhadap pungli yang tinggi. Trend ini terkonfirmasi dengan banyaknya OTT yang dilakukan oleh KPK.

Berikutnya, Corruption Perception Index yang mengacu pada 13 survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori yang mengatakan skor 0 sangat korup dan 100 sangat bersih juga mengalami kenaikan yang sangat lambat selama 15 tahun. Pada tahun 2003, Indonesia memperoleh skor 1,9 dan pada tahun 2018 Indonesia berada pada skor 3,8.

“Rasanya kita seperti lari di tempat dalam kasus penyelesaian korupsi,” tuturnya.

Selain itu, disampaikan dosen UGM tersebut, bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2018 terdapat korupsi sebanyak 454 kasus dan 1087 tersangka. Sektor terbesar pelaku korupsi adalah anggaran desa, disusul dengan sektor pemerintahan, pendidikan, transportasi, kesehatan, pengairan, pertanahan, sosial kemasyarakatan, perbankan dan perizinan.

“Beberapa hari lalu bahkan kita mendengar adanya desa fiktif, setiap desa mendapatkan anggaran Rp 2 miliar, ada juga kasus perjalanan dinas fiktif, hal itu tentu menyakitkan,” imbuhnya.

Di akhir kuliah umum tersebut, ia menyampaikan pemberantasan korupsi adalah tugas semua pihak, dan mahasiswa adalah sebagai salah satu kunci dalam menemukan cara yang paling baik supaya negara ini bisa terbebas dari jebakan korupsi. “Jangan sampai bangsa ini harus memulai lagi dari awal dan menata lagi sampai akhirnya terbebas dari korupsi.

Reporter: Salsabila Tantri Ayu (Kimia, 2016)