Dr. Ramadhani Eka Putra, Ph.D.: Lebah, Mangga, dan Industri Pertanian yang Lebih Maju

Oleh Nida Nurul Huda

Editor Nida Nurul Huda

BANDUNG, itb.ac.id-Indonesia, hamparan tanah surga, yang kaya akan berbagai flora dan fauna menyimpan fakta unik yang cukup mengusik. Paradigma umum banyak menganggap hewan-hewan kecil sebagai hama, bahkan kadangkala fakta ini tidak luput untuk seekor lebah. Kurangnya wawasan memunculkan anggapan yang buruk tentang insekta ini. Pun dengan penanganannya yang kurang memberikan manfaat. Padahal, jika diteliti, ada simbiosis mutualisme yang terjadi antara lebah dan fauna terkait yang mungkin untuk dioptimasi demi kesejahteraan rakyat. Ada kasta yang tercipta, produsen dan konsumen, namun percaya atau tidak, nyatanya mereka bermain lebih daripada peran tersebut.

Polenisasi, Cikal Bakal Segarnya Industri Pertanian
Sejak 10 tahun terakhir serangga yang akrab dengan proses polenisasi (penyerbukan) ini mulai terancam eksistensinya. Lingkungan yang rusak berimbas pada pergeseran keseimbangan habitat lebah. Ironisnya, hal ini sedikit banyak mempengaruhi penurunan produktivitas beberapa buah. Padahal, beberapa diantaranya bisa menjadi komoditas ekspor pangan. Salah satunya terjadi pada mangga, yang sangat mungkin berkualitas baik, berkuantitas banyak dan terdistribusi secara baik dan seragam kualitasnya berkat bantuan aktivitas lebah. Dr. Ramadhani Eka Putra, Ph.D., Kaprodi (Kepala Program Studi) Rekayasa Pertanian ITB, menjelaskan fenomena ini dalam sebuah penelitian yang berjudul "Efek Aplikasi Lebah Madu Lokal Sebagai Agen Penyerbuk pada Kuantitas dan Kualitas Hasil Produksi Tanaman Mangga Lokal". Penelitian mengenai penyerbukan sebenarnya telah diinisiasi sejak 1980 meskipun jumlahnya di Indonesia tidak lebih dari 10 peneliti.

Kualitas buah dari sebuah penyerbukan sebenarnya dipengaruhi oleh banyaknya polen (serbuk sari) yang menutupi kepala putik, dan kuantitas polen optimal setiap tanaman berbeda. Jumlah polen yang memadai akan mempengaruhi ketersediaan hormon dan cadangan makanan, inilah yang berdampak langsung pada produk yang dihasilkan. Seringkali, dari begitu banyak bunga, hanya 80% yang akan menghasilkan buah, itu pun dengan kondisi paling ideal. Dengan lebah madu lokal, didapati peningkatan terhadap kuantitas buah yang dihasilkan. Pun dengan terjaganya kualitas yang baik dan seragam dalam tiap buah. Misalnya saja, dari data penyerbukan tomat dan cabe yang telah dipublikasikan Dr. Rama ternyata mendapati kenaikan tingkat penyerbukan 10%-15%. Sebenarnya cenderung kecil, namun untuk skala besar apalagi dengan ukuran perkebunan yang besar, maka keuntungan yang didapatkan pun tetap tergolong besar. Untuk mangga sendiri, waktu penelitian yang dibutuhkan Dr. Rama berkisar dari 3 hingga 4 bulan disesuaikan dengan waktu pembuahan mangga. Mekanisme penelitiannya adalah dengan mengumpulkan data tingkat penyerbukan pada mangga dengan berbagai agen penyerbuk sebagai variabel bebas dengan memanfaatkan lahan perkebunan di sekitar daerah Subang, Sumedang, dan Nagreg.

Manifestasi penelitian ini dapat dirasakan manfaatnya dalam skala industri pertanian nasional. Misalnya saja, Amerika Serikat mampu mencapai omset 30 juta dolar hanya dari menyewakan lebah. Dalam realisasinya, bisnis ini membutuhkan perhitungan eksak dan presisi terkait ketersediaan nutrisi dan jarak edar dari lebah dalam aktivitas penyerbukannya. Hal inilah yang kemudian disadari sebagai gambaran peran luar biasa dari Lebah yang selain bisa menjaga ekosistem dengan baik juga mampu mensejahterakan rakyat dari segi ekonomi. Bagaimanapun juga, Indonesia masih perlu belajar banyak dalam mengorganisir tata industri pertanian untuk membentuk lingkungan ekonomi yang mendukung.

Trigona sp., Generalis Jinak Penghasil Propolis
Mengapa harus lebah dalam penelitiannya? Selain karena popularitas serangga itu, Dr. Rama melihat keunggulan ekonomis dari propolis yang dihasilkan seekor lebah jika dikembangbiakkan dalam skala besar. Pemilihan mangga sendiri, menurutnya, karena varian mangga Indonesia yang beragam, cenderung unik, dan hampir tidak ditemukan di luar negeri, ditambah lagi dengan kesukaan masyarakat akan buah yang banyak menjadi trademark di masing-masing daerah itu. Hal yang tak kalah penting adalah riwayat penelitian penyerbukan mangga yang belum pernah dipublikasikan kala itu, apalagi oleh seekor lebah.

Trigona sp. merupakan jenis lebah dengan bentuk tubuh yang relatif kecil dibanding lebah jenis lain, dapat hidup di wilayah tropis, tidak bersengat dan tidak agresif sehingga mudah diternak. Lebah jenis ini bersifat sangat generalis, atau fleksibel terhadap nektar dari tanaman yang beragam. Lebah ini dapat juga dikandangkan diberbagai tempat, bahkan di kotak sepatu sekalipun. "Permasalahan utama Trigona itu adalah udara, suhu, karena dia butuh air. Jadi kalau misal tempatnya kering sekali, nggak bisa hidup dia, dia susah untuk mengendalikan suhu sarangnya," Dr. Rama menambahkan. Jika terpaksa, adapun cara Trigona mengendalikan suhu sarangnya adalah dengan mengambil air dari lingkungan kemudian menyimpan pada sela-sela sarang.

Beberapa Tantangan dan Inovasi
"Banyak yang belum tahu tentang penyerbukan (dengan lebah Trigona) karena (tanpa Trigona) sudah bagus bagus aja, dulu sempat menggunakan  Apis cerana, lebah lokal, namun sering kabur karena agresif, (pengguna lebah) masih kalangan terbatas dan kita masih mencoba di peternakan lain, tapi prosesnya diterima sekali," tutur Dr. Rama. Walaupun begitu ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam penelitiannya. Mulai dari serangan predator lebah, kelengkapan penelitian yang diambil pihak tak bertanggung jawab, dan keprihatinan karena belum bisa menggunakan perkebunan sendiri kerap terlukis dalam ingatan lelaki itu.

Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, muncul pula harapan untuk melakukan pengembangan teknologi. Beberapa di antaranya adalah remote sensing (sistem penginderaan jauh), detektor kualitas lingkungan, realisasi persistensi populasi lebah yang optimal, teknologi dalam memprediksi waktu pemekaran bunga, dan pengumpulan data polen untuk menentukan pasangan polen yang dapat menghasilkan buah terbaik. Hal-hal ini kemudian diyakini Dr. Rama akan memudahkan siapapun yang meneliti hal serupa dengan pengembangan lebih lanjut, termasuk dirinya.

oleh:
Cintya Nursyifa J S
ITB Journalist Apprentice 2015

foto: dari berbagai sumber