Tim BIOS Ciptakan Biodegradable Foam Pengemas Buah Ramah Lingkungan dari Limbah Kulit Jagung

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

Tim BIOS dari Prodi Teknologi Pascapanen ITB

BANDUNG, itb.ac.id—Tim BIOS yang terdiri dari 3 mahasiswa Prodi Teknologi Pascapanen ITB berhasil menyabet gelar juara 1 sekaligus presentasi terbaik pada Chemurgy Innovation Summit 2023. Ketiganya adalah Michaela Afra Sanchia (11919028), Khoerunisa Salsabila (11919026), dan Ashaafa Rafiqo (11919025). Ajang kompetisi Chemurgy Innovation Summit 2023 kali ini mengangkat tema “Indonesia’s Future in Biobased Economy”.

Sebagai mahasiswa Teknologi Pascapanen, masing-masing anggota tim BIOS memiliki keresahan yang sama terhadap maraknya penggunaan styrofoam yang sulit terurai sebagai pengemas buah-buahan. Maka dari itu, pada Chemurgy Innovation Summit tahun ini tim BIOS mengusung ide pemanfaatan limbah kulit jagung menjadi biodegradable foam (biofoam) yang digunakan sebagai pengemas produk segar, terutama buah-buahan.

Riset terhadap green product yang mereka lakukan awalnya mengerucut pada produk biodegradable foam dengan material yang beragam. Kemudian dengan penelitian yang dilakukan, ketiganya memperoleh formulasi biofoam yang paling efektif dari kulit jagung, tapioka, dan lilin lebah.

Proses pembuatan biofoam dimulai dengan proses delignifikasi kulit jagung dengan larutan NaOH untuk mendapatkan serat selulosa yang masih kasar. Serat ini kemudian akan melalui proses pengeringan dan penghalusan menjadi bentuk bubuk siap pakai. Adonan biofoam sendiri dibuat dari campuran bubuk kulit jagung, tepung tapioka, lilin lebah, dan bahan tambahan lainnya. Adonan yang sudah siap kemudian dicetak sesuai bentuk yang diinginkan dengan metode thermopressing.

“Selain kulit jagung, kami juga menambahkan lilin lebah untuk memperbaiki karakteristik fisik biofoam. Jadi kami memanfaatkan dua potensial nabati yang sudah tidak termanfaatkan menjadi produk yang lebih berguna,” ujar Khoerunisa.

Biofoam hasil formulasi tim BIOS mampu menjadi alternatif pengemas buah ramah lingkungan yang lebih aman bagi kesehatan manusia maupun ekosistem. Meskipun begitu, biofoam belum bisa digunakan untuk mengemas buah buahan yang memiliki kandungan air di atas 90 persen. Kandungan air dalam buah yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan merusak struktur biofoam ketika terjadi kontak dengan material organik yang mudah terurai.

Salah satu anggota tim lainnya, Ashaafa menjelaskan, syarat yang diperbolehkan untuk buah yang dikemas kadar airnya tidak boleh lebih dari 90 persen. “Tetapi ada pengecualian, jika buahnya memiliki kulit yang cukup tebal atau memiliki lapisan lilin tetap boleh menggunakan biofoam ini, yang tidak boleh hanya jika kadar airnya tinggi dan kulitnya tipis,” katanya.

Ketiganya juga mengungkapkan bahwa selama pengerjaan produk biofoam ini mereka menemui berbagai kesulitan termasuk keterbatasan alat. Mereka mengaku harus pulang-pergi dari Jatinangor ke Bandung ataupun sebaliknya untuk dapat menggunakan alat thermopressing yang hanya terdapat di Kampus ITB Ganesha. Belum lagi banyaknya kesibukan sebagai mahasiswa tingkat akhir, sehingga mereka dituntut untuk mampu menyeimbangkan waktu dengan kegiatan-kegiatan lain di luar kompetisi yang mereka ikuti.

“Karena kami menggunakan alat thermopressing yang ada di Lab Teknik Material, jadi harus bolak-balik Jatinangor-Bandung 2-3 kali dalam seminggu. Apalagi kesalahan saat proses cetak juga sering terjadi sehingga prosesnya relatif lama,” ujar Khoerunisa di akhir sesi wawancara.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)