Forum AYVP 2017: Dari Tantangan Hingga Aksi dalam Pengurangan Risiko Bencana Alam di ASEAN

Oleh Zoealya Nabilla Zafra

Editor Zoealya Nabilla Zafra

BANDUNG, itb.ac.id – Sudah menjadi fakta umum bahwa negara-negara ASEAN rawan bencana alam. Dari data yang diakumulasi oleh Münchener Rückversicherungs-gesellschaft mengenai ikhtisar bencana alam global, negara-negara ASEAN seringkali mengalami bencana alam: banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, angin topan, dan badai. Tsunami Aceh 2004 adalah salah satu contoh bencana alam terbesar di ASEAN, yang menghasilkan kurang lebih 290.000 korban dan kerugian material mencapai 4 triliun rupiah. Hal inilah yang mendorong pertanyaan kepada masyarakat, dapatkah kita membangun bangunan yang kokoh gempa? Dapatkah kita menggasak tantangan-tantangan yang dihadapi?

Hal inilah yang disampaikan oleh Kepala Seksi Penyelenggara Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kepala PuSGeN dan Kepala Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB, dan BNPB dalam forum ASEAN Youth Volunteer Program (AYVP) 2017 pada Selasa (01/08/17) di Aula Barat ITB.

Peran RIHS terhadap Pengurangan Risiko Gempa Bumi di Indonesia

Menurut Kepala Seksi Penyelenggara Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Feri Eka Putra, bencana alam bukanlah suatu hal yang dapat dicegah. Namun, dengan persiapan yang cukup, masyarakat dapat menyelamatkan diri dari bencana tersebut. “We can’t avoid the earthquake, but (what) we can do is preparation (to face the earthquake),” jelasnya.

Beliau juga menyampaikan bahwa RIHS telah berkontribusi dalam mitigasi gempa bumi, baik dalam persiapan sebelum atau setelah gempa terjadi.

Persiapan sebelum gempa terjadi antara lain memperbarui peta bahaya pada 2002, 2012, dan 2016, membentuk Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (PuSGeN) pada 2016 sebagai sarana pendukung peta bahaya yang melibatkan para ahli dan praktisi pemerintah dan nonpemerintah, memperbarui perundang-undangan bangunan gedung, melakukan penelitian mengenai bangunan tahan gempa, mengadakan sosialisasi penanganan gempa bumi kepada masyarakat, serta menekankan verifikasi produk konstruksi berstandar nasional (SNI).

Respon terhadap keadaan darurat gempa antara lain menyediakan tim darurat gempa yang siap dikirim ke lokasi gempa untuk membantu BNPB dalam menangani gempa, menerapkan stiker pasca gempa yang akan ditempelkan di bangunan-bangunan pasca gempa seperti stiker “AMAN”, “HATI-HATI”, atau “BAHAYA”, serta mengaplikasikan teknologi bangunan tahan gempa seperti Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) dan CL-Con System.

Peran Akademisi dalam Pengembangan Bangunan Tahan Gempa dan Mitigasi

Indonesia adalah salah satu negara ASEAN yang paling sering terkena bencana alam. Posisi geografis Indonesia yang tergabung dalam Cincin Api Pasifik menyebabkan negeri ini rentan terhadap gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami.

Dalam mengembangan teknologi bangunan tahan gempa, Prof. Dr. Ir. Masyhur Irsyam, Kepala PuSGeN dan Kepala Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB, dua poin terakhir dari The Six Principles of Sustainability (Mileti, 1999) perlu dijadikan tujuan. Kedua prinsip tersebut antara lain 1) Melindungi kualitas lingkungan dan 2) Menggabungkan ketahanan terhadap bencana dan mitigasi.
Beliau juga menyampaikan usaha Research Center for Disaster Mitigation (RCDM) baru-baru ini untuk meningkatkan ketahanan melalui pengurangan dampak bahaya gempa bumi di Indonesia yang didukung oleh Kementerian Pekerjaan Umum, seperti merevisi peta bahaya seismik pada 2010 dan 2017; merevisi dan memperbarui kode desain resistansi seismik untuk bangunan (2012 dan 2017), jembatan (2015), dan bendungan (2016); mengembangan Kode Desain Nasional untuk geoteknik dan gempa bumi (2016); serta mencanangkan PuSGeN pada 2016.

Usaha lain RCDM yang didukung oleh Agensi Manajemen Bencana Nasional antara lain mendukung lahirnya Master Plan Gempa Bumi Indonesia (2013); mengembangkan kode desain untuk jalur evakuasi tsunami untuk bangunan (2014); serta memperbarui peta bahaya seismik Indonesia (2016).

Bekerja sama dengan Pemerintah Jakarta, RCDM mengembangkan peta bahaya seismik di kota-kota besar dan membuat model kefatalan dan kerusakan gempa bumi bersama Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR).

And last but not least, participate in AYVP 2017,” tukasnya.

Bencana Alam sebagai Momentum Kesatuan Komunitas ASEAN

Dr. Berton Panjaitan sebagai wakil dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali mengingatkan bahwa ASEAN adalah regional yang rawan bencana. Namun, beliau menekankan, bahwa hal inilah yang seharusnya menjadi peluit start bagi negara-negara ASEAN untuk saling bahu-membahu. “National disasters should be a momentum for ASEAN countries to be united,” ujarnya.

Dengan memanfaatkan muda-mudi ASEAN, Dr. Berton Panjaitan yakin bahwa kelompok pemuda yang cepat tanggap dapat berkontribusi besar dalam penanganan bencana alam. “Local civil society organisations, which include faith-based and youth groups, often have a great advantage in disaster situations because of their ability to respond faster, tap local networks, and understand the local complex,

Beberapa hal yang telah dilakukan untuk mempererat kesatuan komunitas ASEAN dengan latar belakang ketahanan terhadap bencana alam antara lain program tahan bencana di desa-desa seperti pelayanan masyarakat oleh Universitas Muhmaddiah dan sekolah wajib kesehatan di Malang; program sekolah pesisir seperti pemetaan sosial di Bangkalan dan vegetasi pesisir di Wonorejo; serta aplikasi dalam teknologi informasi berupa aplikasi Qlue, dimana masyarakat dapat menyampaikan keluhan mereka secara langsung ke pemerintah dengan menyertakan bukti foto dan lokasinya.

Yang terakhir, Dr. Berton Panjaitan menekankan bahwa sebagai generasi muda yang nantinya akan meneruskan bangsa, suara mereka terdengar oleh pemerintah. “Your voices are heard,” tutupnya. 


Sumber foto: dokumentasi penulis