FSL Comlabs ITB: Berkarya dengan FOSS daripada Software Bajakan

Oleh Bayu Rian Ardiyansyah

Editor Bayu Rian Ardiyansyah

BANDUNG, itb.ac.id - Tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat penggunaan perangkat lunak (software) bajakan di Indonesia masih tinggi, bahkan termasuk di kalangan desainer grafis. Seringkali harga yang cukup tinggi untuk membeli lisensi yang legal menjadi alasan penggunaan perangkat lunak bajakan. Dalam rangka mengenalkan alternatif berupa penggunaan Free Open Source Software (FOSS), Comlabs ITB mengadakan Free Saturday Lesson (FSL) bertemakan "Kebebasan Berkarya dengan Software Grafis berbasis Free dan Open Source". Kuliah gratis yang terbuka untuk masyarakat dan mahasiswa secara umum ini diselenggarakan pada Sabtu (27/09/14) di Gedung Campus Center Timur ITB.
Pembicara pertama pada FSL kali ini adalah Rizky Djati Munggaran dari Comlabs USDI ITB yang telah menggeluti dunia vektor grafis selama delapan tahun. Meskipun Rizky sempat menggunakan perangkat lunak ilegal dalam berkarya, akhirnya ia bermigrasi ke FOSS setelah memahami akan pentingnya menghargai Hak Kekayaan Intelektual seperti yang tertuang dalam UU HKI No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sebagai gantinya, Rizky mengenalkan perangkat lunak gratis andalannya, Inkspace, dengan fitur-fitur yang tidak kalah hebat dengan perangkat lunak berbayar. "Perkembangan software open source bisa lebih cepat karena dikembangkan bersama-sama oleh pengguna di seluruh dunia, bukan hanya oleh sebuah perusahaan saja," tutur pria yang akrab disapa Ridjam ini.

Pada sesi kedua Susan Devy berbagi pengalamannya menggunakan FOSS untuk sistem bisnis toko swalayannya di Jakarta. Susan menuturkan bahwa bisnis ritel merupakan bisnis yang mempunyai lebih banyak tantangan untuk dapat memberikan pelayanan maksimal kepada pelanggan. Kurangnya dukungan pemerintah juga menyebabkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia lebih rentan gagal. Oleh karena itu, Susan memutuskan untuk menggunakan FOSS sebagai sistem di toko swalayannya karena kinerjanya terbukti efisien dan penggunaannya mudah, terlebih bisa lebih menghemat biaya karena tidak perlu membayar lisensinya.

Selanjutnya, Aditia A. Pratama yang merupakan salah satu pendiri Kampoong Monster Studios juga ikut menyampaikan pengalamannya berkarya menggunakan FOSS. Berbekal perangkat lunak FOSS bernama Blender, studio animasi miliknya telah banyak menghasilkan karya hingga akhirnya berkesempatan ikut menyumbangkan karyanya dalam Gooseberg Blender, film panjang garapan studio animasi di seluruh dunia. Kampoong Monster Studios juga merupakan salah satu start-up yang berhasil lolos masuk ke Indigo Incubator. "Filosofi yang menarik dari FOSS adalah semangat berbagi. Setelah kita melakukan perbaikan pada salah satu FOSS, maka kita berkewajiban untuk membaginya ke orang lain agar bisa merasakan manfaatnya juga. Ketika kita mau berbagi, maka kemampuan kita akan bertambah dengan cepat," tutur pendiri FOSSgrafis.com ini.

Sebagai penutup, ketiga pembicara menunjukkan hasil karya-karya mereka dengan menggunakan perangkat lunak FOSS. Terbukti meskipun menggunakan perangkat lunak yang gratis, hasilnya juga tidak kalah mengagumkan. "Bagi saya, orang yang karyanya biasa saja dengan menggunakan FOSS lebih terhormat dibandingkan orang yang karyanya luar biasa dengan menggunakan perangkat lunak bajakan. Ambil bagian menjadi orang baik," pesan Ridjam.