GBA 2012: Pamerkan Artefak Kebudayaan dan Sajian Makanan Khas Aceh
Oleh Diviezetha Astrella Thamrin
Editor Diviezetha Astrella Thamrin
BANDUNG, itb.ac.id - Setelah 5 tahun, Pameran Gelar Budaya Aceh (GBA) kembali diselenggarakan oleh Unit Kesenian Aceh (UKA). Bertempat di Lapangan Cinta ITB, pameran yang diadakan pada Jumat (02/03/12) ini sekaligus menyajikan Festival Kuliner Aceh. Pada pameran dan festival kuliner ini, pengunjung dapat menemukan berbagai produk dari kebudayaan Aceh serta makanan-makanan tradisional khas Aceh.
Event yang merupakan bagian dari rangkaian acara GBA ini diadakan untuk memperkenalkan sekaligus menyegarkan kembali ingatan mengenai kebudayaan Aceh dan produk dari kebudayaan Aceh itu sendiri. Pengunjung dapat melihat-lihat prototip rumah adat, busana tradisional 3 suku utama di Aceh, pelaminan adat, artefak kebudayaan, dan berbagai alat musik Aceh. Selain itu, dijual pula cinderamata-cinderamata seperti dompet dan sepatu yang bermotif khas Aceh.
Sembari melihat-lihat berbagai benda dari kebudayaan Aceh, pengunjung dapat pula menikmati makanan dan minuman khas Aceh pada festival kuliner yang berkonsep warung makan bersuasana Aceh. Pada festival kuliner ini, pengunjung dapat menyicipi mie Aceh, kopi Aceh, teh tarik, nasi gurih, martabak Aceh dan roti Cane, rujak Aceh yang menggunakan rempah khusus, dan berbagai makanan lainnya.
Selain makanan-makanan berat, disajikan pula jajanan-jajanan pasar khas Aceh yang mungkin tidak terlalu familiar bagi masyarakat awam. Jajanan tersebut seperti timpan, pulut panggang yang menyerupai nasi ketan, kekarah yang merupakan kue sangkar burung, dan minuman kopi dicampur telur dan susu khas Aceh yang disebut sanger.
Untuk membangun atmosfer warung makan bersuasana Aceh, digunakan meja-meja bundar yang memungkinkan pengunjung bersosialisasi satu sama lain. "Masyarakat Aceh itu senang berosialisasi. Mengobrol sambil makan merupakan salah satu budaya kental di Aceh," ungkap Zhilal Yusya (Teknik Industri 2010), salah satu panitia utama penyelenggara Pameran dan Festival Kuliner GBA. Stand-stand pameran dan festival kuliner dihias pula dengan warna merah, kuning, dan hijau; yang merupakan warna dasar adat Aceh.
"Saya kangen sekali dengan makanan Aceh. Sudah 10 tahun lebih saya menetap di Bandung, dan pameran serta festival kuliner Aceh ini membuat saya nostalgia akan kampung halaman. Mudah-mudahan pameran dan festival kuliner ini diadakan setiap tahun, agar dapat mengobati rasa rindu orang-orang perantauan seperti saya," tutur Mamat Suharto, salah satu pengunjung asal Lhokseumawe.
Pameran dan festival kuliner ini berbeda dengan pameran dan festival kuliner pada umumnya. Pada penghujung acara, pengunjung dihibur dengan penampilan tari massal oleh para peserta pelatihan Tari Saman yang telah berlatih selama kurang lebih sebulan. Di tengah rintik hujan, para penari tetap bersemangat menarikan Tari Ratoh Duek sebagai penutup pameran dan festival kuliner GBA.
Sembari melihat-lihat berbagai benda dari kebudayaan Aceh, pengunjung dapat pula menikmati makanan dan minuman khas Aceh pada festival kuliner yang berkonsep warung makan bersuasana Aceh. Pada festival kuliner ini, pengunjung dapat menyicipi mie Aceh, kopi Aceh, teh tarik, nasi gurih, martabak Aceh dan roti Cane, rujak Aceh yang menggunakan rempah khusus, dan berbagai makanan lainnya.
Selain makanan-makanan berat, disajikan pula jajanan-jajanan pasar khas Aceh yang mungkin tidak terlalu familiar bagi masyarakat awam. Jajanan tersebut seperti timpan, pulut panggang yang menyerupai nasi ketan, kekarah yang merupakan kue sangkar burung, dan minuman kopi dicampur telur dan susu khas Aceh yang disebut sanger.
Untuk membangun atmosfer warung makan bersuasana Aceh, digunakan meja-meja bundar yang memungkinkan pengunjung bersosialisasi satu sama lain. "Masyarakat Aceh itu senang berosialisasi. Mengobrol sambil makan merupakan salah satu budaya kental di Aceh," ungkap Zhilal Yusya (Teknik Industri 2010), salah satu panitia utama penyelenggara Pameran dan Festival Kuliner GBA. Stand-stand pameran dan festival kuliner dihias pula dengan warna merah, kuning, dan hijau; yang merupakan warna dasar adat Aceh.
"Saya kangen sekali dengan makanan Aceh. Sudah 10 tahun lebih saya menetap di Bandung, dan pameran serta festival kuliner Aceh ini membuat saya nostalgia akan kampung halaman. Mudah-mudahan pameran dan festival kuliner ini diadakan setiap tahun, agar dapat mengobati rasa rindu orang-orang perantauan seperti saya," tutur Mamat Suharto, salah satu pengunjung asal Lhokseumawe.
Pameran dan festival kuliner ini berbeda dengan pameran dan festival kuliner pada umumnya. Pada penghujung acara, pengunjung dihibur dengan penampilan tari massal oleh para peserta pelatihan Tari Saman yang telah berlatih selama kurang lebih sebulan. Di tengah rintik hujan, para penari tetap bersemangat menarikan Tari Ratoh Duek sebagai penutup pameran dan festival kuliner GBA.