Gema Aksara 2017 : Memfomulasikan Ulang Pendidikan untuk Menuju Generasi Emas Indonesia

Oleh Gilang Audi Pahlevi

Editor Gilang Audi Pahlevi


BANDUNG, itb.ac.id – Dalam proses pendidikan, seseorang akan diajarkan mengenai suatu hal. Apa yang diajarkan kepada seseorang akan membentuk dirinya menjadi sosok individu tertentu. Sejatinya, pendidikan adalah soal mengajarkan, namun bukan berarti semua hal dapat diajarkan ke semua orang. Setiap individu adalah unik, maka apa yang seharusnya diajarkan kepada seseorang juga unik, bukan disamaratakan, bukan digeneralisasi. Namun itulah yang sekarang terjadi pada sistem pendidikan nasional di Indonesia. Orang yang memiliki minat dan bakat di bidang seni atau olahraga masih dicekoki oleh “supremasi” matematika dan IPA. Jikalau nilai matematika dan IPA di rapor tidak bagus, tidak peduli seberapa hebat ia bermain sepak bola atau sepiawai apapun ia memetik senar gitar, tetap saja ia dicap bodoh. Pendidikan bukan lagi mengejar pengembangan diri sebebas-bebasnya tapi uniformitas seluas-luasnya.

Dengan mengundang beberapa pakar dan praktisi pendidikan, Skhole-ITB Mengajar memantik diskusi terkait peran pendidikan dalam mencetak generasi emas melalui acara tahunannya, Gema Aksara pada Sabtu (20/05/2017). Bertempat di Graha Pos Indonesia, diskusi ini menghadirkan Popong Otje Djundjunan (Anggota DPR RI Komisi X), Munif Chatib (Penulis Buku Best Seller “Sekolahnya Manusia”), Ineu Rahmawati (Founder Volunteerism Teaching Indonesian Children), dan M. Rizal Arryadi (Operational Director Yayasan Pemiimpin Anak Bangsa). Para pembicara pun memaparkan opini dan pengalamannya masing-masing di bidang pendidikan

Arah Pendidikan yang Entah Kemana

Pendidikan di Indonesia dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang memberikan beban berat bagi peserta didiknya. Sejak TK, anak-anak sudah diberikan pendidikan baca, tulis dan hitung. Untuk masuk ke sekolah dasar, anak-anak diuji kemampuan kognitifnya. Di tingkat sekolah menengah, porsi belajar mata pelajaran eksak seperti matematika dan IPA semakin ditambah. Dari rutinitas yang begitu intens ini, seharusnya pendidikan di Indonesia akan mencetak ribuan orang-orang berintelegensi luar biasa. 

Namun faktanya, Indonesia sama sekali tidak dapat dikatakan pintar. Dari aspek kognitif pengetahuan, jumlah publikasi jurnal ilmiah Indonesia sangat rendah, hal ini wajar karena minat menulis jurnal ilmiah di Indonesia saja hanya mencapai 0,012%. Dari aspek keterampilan, Indonesia memiliki sedikit sekali hak paten yang terdaftar. Pada tahun 2009, Indonesia hanya mendaftarkan 6 hak paten. Di tahun yang sama, China mendaftarkan 84.000 paten, Singapura 1.800 paten, Malaysia 513 paten, Thailand 386 paten. Dari aspek afeksi, Indonesia dikenal dengan tingginya tingkat korupsi, suap dan berbagai pelanggaran hukum sejenis. Pertanyaannya, dengan segala pendidikan yang begitu padat, Indonesia menjadi pintar dalam bidang apa?

Pendidikan yang Unik dan Spesifik

Finlandia adalah negara yang dikenal sebagai penyelenggara pendidikan terbaik di dunia. Finlandia memiliki rasio yang tinggi untuk jumlah orang yang melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat universitas. Finlandia juga memiliki tingkat pelanggaran hukum yang rendah. Namun ternyata, segala keunggulan Finlandia tersebut bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak dulu. Sebelum memasuki era ‘90an, Finlandia juga memiliki masalah di bidang pendidikan. Menurut Munif Chatib, masalah yang dihadapi Finlandia adalah kurikulum yang sentralistik dan fakultas keguruan yang bobrok. Kurikulum yang sentralistik adalah hasil kebijakan pemerintah menetapkan kurikulum yang sama untuk diterapkan ke seantero negeri. Fakultas keguruan hanya menghasilkan guru-guru yang fokusnya adalah menjadikan profesi guru sebagai penyambung hidup, bukan sebagai agen pendidik paling penting dalam rantai pendidikan. Baru setelah memasuki era ‘90an, Finlandia melakukan langkah besar dengan menjalankan program desentralisasi kurikulum dan revitalisasi fakultas keguruan. Sekolah-sekolah di Finlandia, di berbagai tingkatan, memiliki hak untuk menentukan sendiri kurikulumnya. Setiap tahun, sekolah-sekolah di Finlandia harus mengirimkan kurikulumnya ke pemerintah untuk dievaluasi. Jika ditemukan ada sekolah dengan kurikulum yang sama, pemerintah akan meminta sekolah terkait untuk menyusun ulang kurikulum mereka. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa setiap orang adalah unik, dan faktor geografis akan menghasilkan orang yang berbeda dengan wilayah lainnya. Maka wilayah yang berbeda seharusnya memiliki sistem pendidikan yang khusus sesuai dengan karakteristik wlayah tersebut. Cara berpikir seperti ini bahkan diterapkan oleh negara yang luasnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan Indonesia.

Kebijakan desentralisasi kurikulum seharusnya juga dijalankan di Indonesia dan hal ini tentu sangat masuk akal. Dengan wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, kondisi geografisnya yang begitu lengkap mulai dari pegunungan hingga pesisir, Indonesia memiliki banyak kearifan lokal yang spesifik di setiap wilayahnya. Pendidikan yang dilangsungkan di setiap daerah seharusnya dapat menjawab kebutuhan setiap daerah, menjadikan orang-orang daerah tersebut dapat memaksimalkan potensi sumber daya yang ada untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian, berbagai daerah di Indonesia dapat membangun daerahnya sendiri dengan lebih baik. Pola sentralisasi pendidikan justru menjadikan orang-orang memiliki spesifkasi “orang kota” yang akhirnya berujung pada berbondong-bondongnya orang dari berbagai wilayah di Indonesia datang ke pulau Jawa untuk mengadu nasib. Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia tidak akan berhasil dalam memaksimalkan potensinya, temasuk generasi emas yang saat ini masih belum terbentuk.