Kuliah Tamu TPB SAPPK: Era of Generalizing Specialist
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id–SAPPK baru-baru ini mengadakan kuliah tamu yang mengundang alumni-alumni SAPPK yang telah sukses berkecimpung di dunia profesional. Hal ini dilakukan agar mahasiswa TPB yang sebentar lagi akan menentukan pilihan jurusannya dapat memahami lika-liku, struggle, dan potensi yang dimiliki masing-masing jurusan yang tersedia, yaitu Arsitektur dan Perencanaan Wilayan dan Kota.
“Ini adalah acara tahunan yang selalu kami lakukan untuk membuka wawasan mahasiswa TPB SAPPK. Walau begitu, kita harus melakukan ini secara online karena adanya imbauan dari ITB terkait pembatasan kegiatan. Namun, diharapkan kita akan segera dapat bertemu tatap muka Kembali,” ucap Dr. Sri Mariyati, S.T, MIP, Dekan SAPPK ITB mengawali rangkaian acara webinar ini. Acara yang dihadiri mahasiswa TPB dan dosen wali ini berlangsung selama 2 (dua) jam dan dimoderatori oleh Pak Aswin Indraprastha, S.T., M.T., M.Eng, Ph.D.
Agenda pertama pada acara ini adalah presentasi dari Vallin Tsarina (AR’06) yang kini berprofesi sebagai urban designer di Urban+. Dalam presentasinya, Vallin menjelasan pengertian dari profesi urban designer, sebuah istilah profesi yang masih awam.
“Dalam dunia perancangan, ada lingkup micro, meso, dan macro. Seorang arsitek akan memiliki lingkup micro sampai meso, perencana kota akan berada dalam lingkup meso sampai macro, sedangkan seorang urban designer akan berada pada peralihan di mana lingkupnya akan terkait dengan micro dan juga macro di saat yang sama. Atau, dapat dijelaskan juga sebagai seorang urban designer menyatukan dunia arsitektur dan perencanaan kota,” jelas Vallin disertai beberapa visualisasi dan grafik yang kian memperjelas konsep ini.
Menurut Vallin, seorang urban designer akan memiliki kemampuan untuk berpikir dwimatra dan trimatra, yang akan mengasah agility perencana. Akibatnya, mereka akan memiliki pola pikir yang multidimensi. “Kami tidak hanya memperhatikan konfigurasi desain kota, namun kami juga memperhatikan keseharian penduduk daerah tersebut sehingga hasilnya akan lebih elaboratif,” jelas Vallin memberikan suatu percontohan.
Ilmu yang didapat selama berkuliah di jurusan arsitektur akan banyak terpakai dalam profesi ini, terutama dalam pehamaman ruang-skala, efek psikologis dan logika desain. Namun tak dipungkiri, kata Vallin, bahwa dia dulu pun mengambil banyak mata kuliah pilihan nonprodi, seperti URA dan digital platform yang memperluas pemahaman dan cara pandang arsitektur yang akhirnya membantu perjalanannya menjadi seorang urban designer.
Selain membuat desain perkotaan atau wilayah, seorang urban designer juga dapat membuat panduan langgam bangunan kota, menentukan wilayah servis di sebuah klaster atau membuat rumusan koefisien RTH (ruang terbuka hijau) pada sebuah kota.
“Saya coba bagikan kata kunci utama dari presentasi ini, yaitu space and scale agility, multi-discipline thinking agility, multi-layer thinking agility, project management, city policy dan communication and presentation,” tutupnya.
Selanjutnya, Pritta Andriani (PL’11), seorang policy maker dari Deloitte Consulting Southeast Asia menyampaikan materinya. Pritta melanjutkan pendidikan ke Belgia, Jerman, dan Estonia, dengan gelar magna cumlaude.
Presentasi dibuka dengan penjelasan apa saja yang dikerjakan seorang policy maker. Policy making ini adalah ditujukan untuk penataan ruang, sehingga tidak hanya untuk negara yang berkembang. “Kebijakan publik adalah rencana program peraturan yang dirancang oleh badan publik yang mempengaruhi public,” imbuhnya.
Seorang pembuat kebijakan memiliki perasaan observasi yang baik. Hal ini juga dipengaruhi dari proses pembuatan peraturan yang membentang dari definisi masalah, telaah opsi, perumusan kebijakan, pengesahan dan uji materi sampai ke komunikasi dan implementasi kebijakan.
Walaupun menempuh pendidikan di banyak negara yang memiliki peraturan dan kebijakan berbeda-beda, tahapan proses (seperti mencari tahu masalah, riset, dll), filosofis dan kebijakan publik memiliki banyak kesamaan. Yang berbeda ada dalam teknis menelaah masalah, cara mencari sumber, koordinasi, dan government approval.
“Di Indonesia, kita bisa langsung turun ke lapangan, dan kita tahu betul tingkat kapabilitas umum masyarakatnya dalam menyerap informasi baru. Berbeda dengan di beberapa negara yang pernah saya datangi, masyarakatnya lebih advanced sehingga cara approach-nya akan berbeda,” tutupnya mengakhiri sesi presentasi tahap dua.
Agenda kuliah tamu ini diakhiri dengan kegiatan diskusi dan tanya jawab yang diikuti mahasiswa dengan antusias. Sebagai penutup, dilakukan kegiatan berfoto bersama, sebelum mahasiswa masuk ke break-out room untuk melakukan perwalian dengan dosen wali masing-masing.
Reporter: Madeline Abigail Lukito (Arsitektur, 2020)