GeoTalk IUGC 2024 Bahas Inovasi Penangkapan Karbon untuk Mewujudkan Emisi Nol di Indonesia

Oleh Rayhan Adri Fulvian - Mahasiswa Teknik Geofisika, 2021

Editor M. Naufal Hafizh

IUGC 2024 kembali menggelar GeoTalk mengenai pentingnya teknologi CCS dalam mengatasi tantangan perubahan iklim, Sabtu (3/8/2024). (Dok. IUGC 2024)

BANDUNG, itb.ac.id – Himpunan Mahasiswa Teknik Geofisika HIMA TG “TERRA” ITB menggelar International Undergraduate Geophysics Competition (IUGC) yang salah satu mata acaranya adalah GeoTalk bertemakan “Integrating Carbon Capture with Renewable Energy Systems: Opportunities and Challenges”, Sabtu (3/8/2024). Acara ini menghadirkan Djad Marthin Aponno, S.T., HSE Officer di LNG Tangguh, yang menyampaikan wawasan mengenai pentingnya teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dalam mengatasi tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak.

CCS merupakan teknologi yang mencakup penangkapan CO2 dari proses industri, mengompresnya, dan menyimpannya secara permanen dalam formasi batuan yang dalam. “CCS bukan hanya solusi untuk mengurangi emisi, tetapi juga sebagai langkah strategis menuju Net Zero Emission (NZE),” ujarnya. Teknologi ini menawarkan berbagai manfaat, mulai dari mitigasi pemanasan global, pengurangan emisi di sektor energi, hingga kontribusi terhadap industri berat, seperti pabrik semen dan kimia, yang memiliki jejak karbon dengan cukup signifikan.

Prinsip kerja Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). (Dok. IUGC 2024)

Indonesia menghadapi ancaman serius akibat perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan air laut, gelombang panas, dan kekeringan. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengeluarkan regulasi seperti Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2023, yang mengatur penyelenggaraan CCS sebagai upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.

Namun, beliau menjelaskan bahwa pengembangan CCS di Indonesia mengalami tantangan, terutama terkait kebutuhan investasi yang besar. Misalnya, proyek pengembangan CCS antara Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil melibatkan investasi sebesar 15 miliar dolar AS. “Regulasi yang jelas dan infrastruktur yang memadai sangat penting untuk mendukung keberhasilan CCS di Indonesia,” katanya.

Dalam webinar ini, beliau juga menggarisbawahi potensi besar Indonesia untuk mencapai NZE pada 2060. “Kita memiliki peluang untuk mengembangkan teknologi CCS dan membentuk hub CCS yang dapat menyimpan CO2 domestik serta menggali kerja sama internasional dalam perdagangan karbon,” ujarnya. Dengan demikian, CCS diakui sebagai “license to invest”, terutama di sektor-sektor beremisi rendah seperti blue ammonia, blue hydrogen, dan advanced petrochemical.

Beliau menekankan bahwa CCS bukanlah solusi utama, tetapi bisa diandalkan untuk mencapai NZE. “Industri minyak dan gas harus menjadi pemimpin dalam pengembangan dan penerapan teknologi CCS, dengan potensi menangkap hingga 30 juta ton CO2 dari industri besar, yang dapat mendekati 70% dari total emisi,” ujarnya.

Webinar ini tidak hanya memberikan pemahaman mengenai manfaat dan tantangan CCS, tetapi juga memunculkan diskusi peran teknologi dalam mencapai keberlanjutan energi dan perlindungan lingkungan di Indonesia. Dengan integrasi teknologi CCS dengan sistem energi terbarukan, kolaborasi antara sektor industri, pemerintah, dan akademisi dalam menciptakan solusi yang inovatif dan berkelanjutan adalah hal yang sangat penting.

Reporter: Rayhan Adri Fulvian (Teknik Geofisika, 2021)