Heri Dalyari: Kerja Keras Tak Pernah Usai

Oleh

Editor

Masih 8 tahun menjelang masa purnabaktinya, sudah 27 tahun masa pengabdiannya. Hari-hari kerjanya tampak tak pernah surut dari tugas-tugas yang berantrian. Sebagai Kepala Satpam dan Layanan Darurat ITB, Heri Dalyari yang lahir di kota Karawang pada 30 April 1959 ini mengemban amanat yang tidak kecil, memastikan keamanan seluruh kampus ITB. Bahkan satuan pengamanan di Gedung CCAR dan Balai Pertemuan Ilmiah juga berada di bawah komandonya. Saat itb.ac.id menemuinya untuk wawancara ini, tidak seperti biasa, ia tidak mengenakan pakaian dinasnya. “Saya baru kembali dari razia kendaraan bermotor di gerbang depan,” ucapnya membuka percakapan kami di pos satpam dekat Aula Timur ITB. Sudah seminggu ini memang kampus ITB memiliki kebiasaan baru. Apabila Anda akan keluar dari kampus ITB dengan kendaraan bermotor Anda menjelang malam, maka Anda akan diminta menunjukkan kartu tanda masuk kendaraan dan diperiksa kelengkapan surat-surat kendaraan Anda, misalnya diminta menunjukkan STNK. Operasi rutin ini dimaksudkan untuk memperketat pengamanan terhadap kendaraan bermotor di lingkungan kampus ITB. Seperti yang sivitas ketahui, akhir-akhir ini kasus curanmor memang sedang merebak di lingkungan kampus ITB. “Jumlah personel satpam memang sangat kurang, maka kami memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan,” jelasnya. Luar biasa memang, dengan keterbatasan personel, satuan pengamanan ITB tidak hanya bertanggung jawab atas keamanan kampus. Mereka juga bertanggung jawab atas layanan darurat. “Contohnya adalah apabila ada dosen yang meninggal. Semua pengamanannya menjadi tanggung jawab kami. Termasuk menyediakan ambulans, mengantar ke pemakaman, menjaga rumah duka. Begitu pula apabila ada mahasiswa yang mengalami kecelakaan, kami akan memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. Satpam juga bertanggung jawab atas antisipasi terhadap kebakaran,” tutur Heri sambil membenarkan posisi duduknya. Bapak beranak 4 ini mulai mengabdi kepada ITB sejak November 1979. Banyak pengalaman yang telah ia lalui selama mengabdi kepada ITB. Ia pun mengenang kembali saat pertama kali ia menjadi petugas keamanan. “Saya ingat tahun 1980, saat itu saya sedang mengikuti Sipenmaru (nama lama SPMB, red). Karena saya berasal dari jurusan IPA, ujiannya diselenggarakan pada hari Senin dan Selasa. Lucunya, karena Menwa kekurangan personel, maka pada hari Rabu dan Kamis-nya saya pun ikut mengawasi peserta ujian dari jurusan IPS. Padahal hari sebelumnya saya masih menjadi peserta.” Baik pengalaman menegangkan, indah, maupun mengesalkan sudah pernah ia kecap selama menjadi satpam. “Saya masih ingat ketika itu satpam ITB ditugasi untuk mengamankan sebuah simposium internasional di Gedung Merdeka. Senang sekali rasanya satpam dilibatkan di even besar seperti itu. Namun ada juga pengalaman mengesalkan yang pernah saya alami. Saya sangat sebal menghadapi para mahasiswa yang bandel. Waktu itu pernah ada mahasiswa yang bermain sepakbola di lapangan rumput Aula Timur. Saat saya tegur, mereka tidak menghiraukan, tetapi justru mengejek saya dengan mengarahkan lensa kamera ke lubang hidung saya. Untunglah saat itu saya masih bisa menahan emosi,” ucapnya berapi-api. “Menjadi satpam memang dituntut untuk ekstra sabar.” Heri pun berceita tentang keberhasilannya menangkap kepala gembong curanmor Asep Nero. “Setelah saya intai sekian lama, malam itu saya berhasil memergokinya di dekat kolam Mesin. Ia mengendari sepeda motor, begitu pula dengan saya. Saya sedikit berbasa-basi dengan ia. Namun ketika ia saya minta untuk memperlihatkan identitasnya, ia berusaha melarikan diri. Maka saya pun memeganginya. Roda sepeda motornya yang terjungkir, masih terus berputar dan mengenai lengan bagian dalam saya,” ucapnya sambil menunjukkan bekas lukanya kepada itb.ac.id. Akan perihal kesejahteraan, ia adalah salah satu orang yang berbahagia dengan perubahan status ITB menjadi BHMN. “Dengan berubahnya status ITB menjadi BHMN, status satpam juga menjadi terangkat, tunjangan menjadi lebih terjamin.” Tiba-tiba percakapan kami harus terhenti. Ada keributan kecil di luar. Rupanya satu lagi kejadian curanmor, kali ini sebuah kendaraan roda empat di kampus bagian belakang. Ia pun segera menyudahi percakapan kami. “Maaf, saya harus kembali bertugas.” Kerja keras tak pernah usai.