Indonesia Capai Ketahanan Mineral Jika Ubah Paradigma

Oleh Luh Komang Wijayanti Kusumastuti

Editor Luh Komang Wijayanti Kusumastuti

BANDUNG, itb.ac.id - Kekayaan mineral dan batubara Indonesia selama ini hanya dipandang sebagai sumberdaya untuk dieksploitasi, bukan dieksplorasi. Eksploitasi yang terus menerus berlangsung mengakibatkan turunnya cadangan mineral dan batubara yang dimiliki Indonesia. Padahal, cadangan tidak seharusnya turun. Hal tersebut menimbulkan keraguan akan kedaulatan dalam sumberdaya tersebut. Terutama upaya negara dalam menuangkan kebijakan dalam pengelolaannya. Melaui Studium Generale pada Rabu (12/11/14) di Aula Barat, ITB membuka wawasan mengenai kedaulatan sumberdaya mineral dan batu bara Indonesia. Kuliah umum ini mengundang Dr. Ir. R. Sukhyar, Direktur Jendral Mineral dan Batu Bara, sebagai pembicara dengan mengangkat topik 'Kebijakan Pembangunan Sumberdaya Mineral dan Batu Bara Indonesia'.

Menurut Sukhyar, tidak ada negara yang tidak berangkat dari sumber daya alam. Sumber daya alam digunakan sebagai basis pengembangan dalam industri manufaktur pada negara-negara maju. "Namun yang terpenting adalah bagaimana hasil eksplorasi sumberdaya mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya termasuk meningkatkan pendidikan untuk kemajuan," ungkap Sukhyar dalam paparannya.


Kekayaan mineral Indonesia menjadikan dunia bergantung kepadanya. Indonesia sebagai pemasok timah nomer satu di dunia. Sekitar 70%-80% timah dunia berasal dari Indonesia. Selain itu, di Jepang menggunakan nikel sebanyak 40% dari Indonesia. Namun, Indonesia hanya mengirimkan barang mentah. Dalam hal ini penambahan nilai dalam sumberdaya tersebut menjadi sangat penting untuk lebih menguntungkan Indonesia serta menimbulkan kedaulatan sumberdaya alam.


Kedaulatan, Kemandirian, dan Ketahanan Sumber Daya Mineral


Berbicara mengenai ketahanan, sumberdaya alam nasional haruslah bermula dari kedaulatan. Esensi terpenting adalah penentuan arah kebijakan pembangunan oleh bangsa sendiri yang mampu memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Kemudian berlanjut ke tahap kemandirian, yaitu mampu mengelola dan mengolah SDA sendiri. Kemandirian ini, menurut Sukhyar akan menciptakan individu-individu yang kompeten, inovatif, dan kompetitif serta mampu bersaing dengan negara lain.


Barulah Indonesia akan disebut berketahanan jika terjamin pasokan energi atau mineral secara berkelanjutan untuk rakyat. Serta lentur terhadap gejolak luar dan dalam negeri. Dengan kedaulatan tersebut, rakyat dan industri akan memperoleh energi  atau mineral dengan harga terjangkau dan aman.


"Untuk mencapai kedaulatan tersebut, harus merubah paradigma dari eksploitasi menjadi eksplorasi,"ungka Sukhyar. Baginya, paradigma lama yang mengeksploitasi sumberdaya alam untuk menerima pendapatan sebanyak-banyaknya perlu segera pirubah ke sebuah paradigma baru. Paradigma baru tersebut menitikberatkan sumberdaya digunakan sebagai pembangunan yang berkelanjutan . Dalam hal ini, manajemen sumberdaya sangat dibutuhkan.


Kondisi Indonesia Kini


Kini terdapat tiga pola pengusahaan pertambangan yang diterapkan di Indonesia. Pertama, Kontrak kerja sama (KKS) untuk sektor migas dengan hasil produksinya dibagi antara pemerintah dengan perusahaan. 90-10 untuk minyak bumi dan 70-30 untuk gas bumi. Kini sudah terdapat 321 Wilayah kerja KKS. Kedua, Konsesi untuk mineral dan Batu Bara. Dalam bentuk ini, perusahaan membayar royalti atas bahan tambang yang dijual. Perusahaan membayar pajak yang berasal dari penjualan mereka. Terdapat 34 kontrak karya dan 73 kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Ketiga adalah Service Agreement, perusahaan melakukan pekerjaan yang dibayar sesuai dengan kesepakatan pemegang kuasa pertambangan dengan perusahaan atas pekerjaan mereka.


Dari pengelolaan selama ini, Indonesia telah mengekspor minyak mentah, gas bumi, batubara, dan beberapa jenis mineral. Namun juga masih mengimpor minyak mentah, BBM, LPG, dan ebberapa mineral dikarenakan tidak semua spesifikasi kilang domestik dapat mengolah produksi minyak nasional.


Indonesia juga mulai mengarahkan kebijakan konservasi energi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi di sisi suplai dan pemanfaatan dari segi permintaan seperti industri, transportasi, rumah tangga, dan komersial. Kebijakan lainnya yaitu pada diversifikasi energi untuk meningkatkan pangsa energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional. Saat ini, penggunaan minyak sebanyak 49,7%, Gas sebesar 20,1%, Batubara 24,6% dan 5,7% untuk energi baru terbarukan. Pada tahun 2025 ditargetkan penggunaan mnyak menurun hingga 25 % dan dialihkan ke EBT hingga penggunaannya mencapai 23%. Penggunaan gas ditargetkan sebesar 22% serta Batubara sebesar 30%.


Sukhyar juga mengungkapkan upaya yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak. Baginya, pemerintah perlu melakukan eksplorasi awal seperti survei seismik dan kajian geosains rinci yang dapat membantu pelaku usaha dalam melakukan analisis geosains di wilayah kerja. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong pelaku usaha untk melakukan eksplorasi migas terutama melakukan komitmen pemboran. "Tentunya hilarisasi harus berjalan terus dan dikawal untuk meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara serta mengembangkan industri manufaktur berbasis sumberdaya tersebut," tutup Sukhyar.