Interaksi Ruang Kelas di Era New Normal Hasilkan Budaya Baru

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

Sumber: Book photo created by rawpixel.com - www.freepik.com">freepik

BANDUNG, itb.ac.id–Kelompok Keilmuan Literasi, Media, dan Budaya Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan webinar “Interaksi Ruang Kelas di Era New Normal: Perspektif Budaya dan Semiotika” pada Selasa (3/8/2021). Mereka mengundang sejumlah narasumber ahli.

Dr. Lina Meilinawati Rahayu, M.Hum., Wakil Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjadjaran (Unpad), hadir sebagai narasumber pertama. Dr. Raden Safrina, M.A., Kepala Balai Bahasa dari Universitas Pendidikan Indonesia juga hadir sebagai narasumber. Sementara Dr. Acep Iwan Saidi, M.Hum. dari KK Ilmu-Ilmu Desain dan Budaya Visual, FSRD ITB, hadir sebagai narasumber berikutnya.

Pada pemaparan pertama, Dr. Lina Meilinawati menerangkan potret ruang kelas dalam film Indonesia. “Potret ruang kelas berdasarkan temanya dapat dibedakan menjadi dua, yakni bertema pendidikan dan bukan pendidikan,” ujarnya.

Ditinjau dari tema bukan pendidikan, segelintir film Indonesia lebih menggambarkan sosok pendidik dalam ruang kelas yang sangar, tetapi diremehkan oleh murid-muridnya. Penggambaran ini tidak berubah dari masa ke masa.

Adapun film dengan tema pendidikan kerap kali memotret kemiskinan. Lebih tepatnya perjuangan seseorang dengan latar belakang yang kurang berkecukupan, khususnya dalam mencapai jenjang pendidikan. Hal ini masih menegaskan betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan penonton.

Webinar kemudian disambung dengan pemaparan kedua mengenai norma baru pendidikan oleh Dr. Raden Safrina. Dia menjelaskan bahwa pandemi membuat pendidikan bergerak dalam ruang yang berbeda meskipun komponen-komponennya sama saja. Akibatnya, lahirlah budaya kelas baru, yang membuat semua orang yang terlibat perlu beradaptasi dengan perubahan ini.

Menurutnya, pembelajaran secara daring (online) memang menjauhkan pelajar dari interaksi sosial. “Sayangnya, kebanyakan motivasi utama pelajar menggunakan teknologi dalam pembelajaran ialah mendapatkan afeksi. Inilah sebabnya pembelajaran online tidak bisa ditafsirkan sebagai bentuk ‘meniadakan kemanusiaan’,” tuturnya.

Ketersampaian materi pun bergantung pada keterlibatan pelajar dalam pembelajaran. Inilah sebabnya guru perlu memikirkan berbagai cara untuk menarik hati para pelajar. Berupaya semaksimal mungkin dalam mencerahkan ekspresi muka pelajar.

Dr. Acep Saidi, narasumber terakhir, kemudian mengangkat topik mengenai ruang belajar virtual dari perspektif semiotika. Menurutnya, ruang belajar virtual merupakan ekosistem pembelajaran yang berada di dalam ruang virtual. Implikasinya, pihak-pihak yang terlibat dalam ruang belajar virtual diharuskan memiliki pemahaman budaya virtual yang mengakar kuat.

“Situasi pandemi ini memaksa kita untuk menerapkan budaya virtual, supaya bisa mengembangi perkembangan teknologi. Tidak menghafal apa yang dibaca, melainkan memahami isi materi seutuhnya,” ungkap Acep.

Membangun imajinasi ruang, di mana para pelajar diposisikan sebagai tokoh utama, sementara guru mengambil peran sebagai narator. Sebagaimana pembingkaian pada film, membuat nyata pembelajaran di ruang virtual.

Reporter: Zahra Annisa Fitri (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)