International Conference on Research, Public Policy, and Public Policy Schools

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

Selama dua hari berturut, 14-15 Maret 2005 lalu, diadakan International Conference di Aula Barat ITB. Konferensi bertaraf internasional bertajuk Research, Public Policy and Asian Public Policy Schools ini diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana ITB, bekerja sama dengan International Development Research Centre (IDRC), Canada. Turut berpartisipasi sebagai presentor maupun pendiskusi, para ahli dari banyak sekolah kebijakan publik (public policy schools) di Asia, Amerika Utara, dan Inggris. Rektor ITB berkesempatan membuka acara ini, setelah memberikan pidato pembukaannya. Dalam pidatonya, Djoko menyinggung pula mengenai penting riset sebagai fundamen 'policy making'. Dalam kerangka itu, dibutuhkan 'honesty politics' agar riset pendukung 'policy making' itu tetap berdasar pola ilmiah dan tidak diganggu oleh kepentingan politis. Turut juga memberikan pidato pembukaan, Sonny Yuliar dari Development Studies, ITB dan Stephen McGurk, dari IDRC. Sebagai keynote speaker, Bambang Widianto, Direktur Masalah Tenaga Kerja dan Analisis Ekonomi-Bappenas, memberikan pemaparan mengenai masalah public policy schools di Indonesia yang minim. Di Indonesia, public policy schools (PPS) hanya berupa program studi, itupun hanya beberapa Perguruan Tinggi besar atau di Ornop (Organisasi Non Pemerintah; NGO = Non Govermental Organization) tertentu. PPS memang tidak marak, menurutnya, karena pengaruh masa Orba yang membatasi demokrasi, serta minimnya pasar kerja untuk lulusan PPS. Di Indonesia, sektor swasta sangat minim mengembangkan PPS. Padahal, di Amerika Serikat (AS), permintaan akan lulusan PPS sangat besar, utamanya malahan dari sektor swasta, baik dari perusahaan besar atau individu dermawan. Selain itu, Bambang juga memberikan pemaparan mengenai perubahan peran Bappenas dalam hubungannya dengan penyuaraan public policy. Bappenas dulu yang dikenal dengan sumber korupsi karena banyak berkutat pada proyek-proyek sekarang hendak memfokuskan diri pada peningkatan perannya pada pengambilan keputusan publik. PPS yang cocok untuk Indonesia menurut Bambang adalah PPS yang mampu memberikan wawasan mengenai riset ekonomi sekaligus riset sosial-politis yang menantang dan berat. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa ekonomi Indonesia masih berada pada level lambat, sementara kondisi sosial politik belum sepenuhnya stabil. PPS juga harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam sektor-sektor sipil. Di akhir, Bambang mengusulkan agar pendekatan "top-down" yang biasanya dilakukan pemerintah dalam penentuan kebijakan diganti oleh proses partisipasi, utamanya dari sektor swasta, seperti the President's commissions di AS atau Royal commissions di UK dan Australia. Inti dari konferensi ini dibagi menjadi tiga bagian besar. Pada hari pertama, terdapat dua sesi besar yaitu Policy research and challenges in Indonesian development processes as an archipelagic state (e.g. reconstruction of Aceh) serta Asian public policy school: challenges and opportunities. Hari kedua, Selasa 15 Maret 2005, dibahas mengenai Understanding public policymaking processes and Policymakers yang dibagi menjadi tiga sesi. Tampil sebagai presentor maupun pendiskusi nasional, Kurdianto Saleh (Institute of National Defence) Pieter L.D. Wattimena (Menteri Pertahanan), Johanes Haba (LIPI), Widyantoko Sumarlin (BPPT), Onno W. Purbo (Rebel Net), Soedarno Sumarto (SMERU), Prayoga Hadi (Bappenas), Rizal Ramli (ECONIT, Mantan Menteri Keuangan), Sony Yuliar (Development Studies, ITB), I Gde Raka (Development Studies, ITB). Sementara itu, pembica tamu internasional, Lauchlan Munro (Direktur IDRC), Ferry de Kerchove (Director-Jenderal of International Organization Bureau, Canada), Xue Lan (Professor and Executive Associate Dean School of Public Policy and Management, Tsinghua University, Beijing), Gopal Naik (Chairman Post Graduate Program in Public Policy and Management, Indian Institute of Management, Bangalore), Fr. Jose C J. Magadia (Executive Director, Ateneo Center for Social Policy and Public Affairs, Philipines), Hui Weng Tat (Vice-Dean, Academic Affairs, Lee Kuan Yew Public Policy School, National University of Singapore), Robert Wolfe (MPA Program Director, School of Policy Studies, Queen's University, Canada), Andre Saumier (former deputy minister and president of Montreal Stock Exchange, Canada), Celia Reyes (Angelo King Institute for Economic and Business Studies), Peter O'Hara (International Institute for Rural Reconstruction), Stephen Tyler (IDRC Team Leader, Community-based Resource Management Program), Mukhul Asher (Lee Kuan Yew Public Policy School), Sarah Cook (Ford Foundation, China), dan Fred Carden (Director of Evaluation Unit, IDRC Ottawa). antonius krisna murti