ITB Selenggarakan Workshop Internasional Kebencanaan

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan 4th International Workshop on Multi-Hazard Early Warning and Resilience Building in Coastal Communitis and Final CABARET Steering Commitee Meeting di Gedung CRCS, Kampus ITB, Jalan Ganesha, Senin (6/1/2020). Workshop yang akan berlangsung selama lima hari tersebut dihadiri oleh Menteri Bappenas/PPN Suharso Monoarfa, Rektor ITB Prof. Kadarsah Suryadi, Head of CABARET ITB Dr. Harkunti P. Rahayu dan Prof. Richard Haigh dari University of Huddersfield.

CABARET atau Capacity Building in Asia for Resilience EducaTion merupakan sebuah proyek yang didanai oleh Uni Eropa yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas penelitian dan inovasi untuk pengembangan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Proyek  tersebut akan memberikan dukungan untuk membangun kapasitas kerja sama internasional dan regional antara Perguruan Tinggi di Asia (wilayah 6) dan Eropa.

“Salah satu fokus dari proyek tersebut adalah untuk melakukan penelitian pada aspek peringatan dini multi-bahaya (MHEW) dan meningkatkan ketahanan bencana bagi masyarakat pesisir,” ujar Dr. Harkunti dalam paparannya.

ITB turut beperan dalam proyek tersebut. Untuk itu, Harkunti menyampaikan terima kasih kepada ITB atas dukungan dalam menjalin kerjasama dengan 19 perguruan tinggi di Asia dan Eropa. Dia menambahkan, melalui kegiatan ini dan juga kerjasama yang telah terjalin, diharapkan dapat memberikan kontribusi di bidang mitigasi bencana, bukan hanya di Indonesia tapi juga ke beberapa kota besar lain di Indonesia. 

Acara ini akan berisi sharing pengetahuan dan juga pengalaman para delegasi dari 19 institusi di Asia dan Eropa. 9 delegasi merupakan asal perguruan tinggi di Asia, dan 7 dari Uni Eropa. Indonesia dalam hal ini diwakili oleh ITB dan Universitas Andalas. 

“Workshop ini bukanlah akhir dari program yang telah terjalin, tapi harapannya adalah menjadi kolaborasi baru di masa depan antara perguruan tinggi di Eropa dan Asia di bidang mitigasi bencana dan pengembangan multi-hazard early warning system atau sistem peringatan dini terhadap bencana,” ujar dosen di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB tersebut.

Prof. Richard Haigh selaku peneliti utama dari CABARET mengatakan tujuan dari proyek tersebut adalah untuk mempromosikan kerjasama internasional di level regional antara perguruan-perguruan tinggi di Asia dan Eropa, sekaligus dalam hal ini untuk meningkatkan penelitian sistem peringatan dini multi-bencana dan meningkatkan ketahanan bagi masyarakat pesisir.

Sementara itu, Rektor ITB Prof. Kadarsah Suryadi dalam sambutannya mengatakan, Indonesia dikenal sebagai negara yang sering terjadi bencana alam seperti tsunami, erosi laut, tanah longsor, badai, cuaca ekstrim. Sampai 2019, menurut data dari BNPB, terdapat 3.721 kejadian bencana alam di Indonesia. “Bahkan di awal tahun ini, terdapat pula bencana banjir yang melanda daerah Jakarta,” ujarnya.

Bencana alam yang terjadi di Indonesia telah memberikan tantangan tersendiri bagi ITB dan juga menjadi dasar agenda riset di ITB. Kaitannya dengan hal tersebut, ITB telah mendesain advance technology untuk mengatasi berbagai persoalan dan tantangan kebencanaan. “Hal tersebut sejalan dengan amanat tri dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,” ucapnya.


Disampaikan Rektor, dari sisi mitigasi kebencanaan, ITB telah berupaya berkontribusi dengan didirikannya Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB).

Adapun menurut Menteri Bappenas/PPN RI Suharso Monoarfa mengatakan, workshop tersebut sangat relevan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia. Seperti diketahui, pada awal tahun ini pun Jakarta telah terjadi bencana banjir. “Menurut laporan dari BMKG, intensitas curah hujan di Jakarta tercatat hingga 377 mm/hari yang merupakan curah hujan tertinggi sejak 2007,” ungkapnya. 

Untuk itulah, menurutnya kita harus menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang banyak dilanda bencana yang dapat datang kapan pun. Indonesia juga dikenal sebagai ring of fire di mana banyak dikelilingi gunung berapi yang aktif. “Kita juga harus mengakui bahwa bencana alam juga terjadi karena aktivitas manusia, misalnya karena deforestasi, urban development, penambangan liar, yang bisa menyebabkan tanah longsor dan perubahan iklim,” ungkapnya.