Jelek! Kala Arsitek Kritisi Karya Sendiri

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id–Program Studi Arsitektur dari Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan Diskusi Terbuka Kritik Arsitektur “JELEK!”. Acara yang bekerja sama dengan Alumni AR ITB 2011 ini berlangsung secara daring pada Sabtu (8/8/2021). Mereka menyelenggarakan diskusi untuk mendorong perkembangan budaya kritik yang sehat, terutama dalam ranah arsitektur.

Beberapa arsitektur ternama seperti Baskoro Tedjo, Kevin Mark Low, Andra Martin, dan Yanuar Pratama Firdaus hadir sebagai pembahas pada diskusi tersebut. Diskusi ini juga dihadiri oleh Arif Sarwo Wibowo sebagai perwakilan dari Prodi Arsitektur ITB. Moderator pada diskusi ini adalah Achmad D. Tardiyana, Senior Architect Urbane Indonesia sekaligus pengajar di Prodi Arsitektur ITB.

Berangkat dari keresahan terhadap presentasi citra baik arsitektur pada media, diskusi ini mencoba mengulas sisi lain dari suatu karya arsitektur. Selama ini, arsitektur sering dipandang secara dua dimensi. Media cenderung menampilkan karya arsitektur hanya dari sudut pandang arsiteknya, sehingga presentasi yang tampil terbatas pada sisi-sisi baiknya.
Dalam paparan pertama, Principal Architect Aaksen Responsible Architecture Yanuar P.F. membahas tentang “Failing Forward”. Yanuar membagikan ceritanya dalam mengerjakan karya-karya arsitektur, salah satunya NOR House. Dalam mendesain NOR House, Yanuar mengaku melakukan beberapa kesalahan.

Sebagai contoh, bangunan rumah tersebut awalnya didesain untuk memenuhi ego dirinya. Dia juga mengaku terlalu mengedepankan aspek visual dibandingkan aspek ergonomis bangunannya. “Perjalanan ini menyadarkan saya bahwa sesuatu itu dibuat dari prinsip yang benar dulu, jadi keindahan akan ada apabila prinsipnya benar,” ucap Yanuar.

Bersama rekan-rekan studio arsitekturnya, Aaksen, mereka membuat suatu buku berjudul “Aaksen Black Book” untuk merangkum dan mendokumentasikan kesalahan-kesalahan desain yang pernah diperbuat.

Melanjutkan Yanuar, arsitek ternama Andra Matin turut mengkritisi karya pribadinya. Dalam membangun EH House, misalnya, dia menemukan banyak hal-hal tak terduga yang membuatnya perlu merombak sebagian desainnya. Andra Matin menyadari bahwa desain yang telah diimplementasikan ternyata kurang optimal dalam mengakomodasi rencana awalnya serta keinginan kliennya. Dia juga menyadari bahwa pemilihan material dan pemeliharaan bangunan sering menjadi area yang luput dari perhatian. Arsitek pun perlu bisa memahami keinginan klien dengan baik untuk menghindari adanya design waste dan kenyamanan penggunaan ruang.

Lebih lanjut lagi, Andra Matin menekankan perlunya berdiskusi dan mengakui kesalahan kepada klien sebagai kunci untuk tetap dipercaya oleh klien, terlebih untuk tetap bisa mendapatkan proyek-proyek baru. “Saya sebagai arsitek bukan seseorang yang sempurna, tetapi kalau kita bisa belajar jujur dan mengakui bahwa kita tidak bisa sempurna dan berusaha sebaik-baiknya, semoga itu juga dapat diapresiasi oleh klien,” tutupnya.

Pemaparan ketiga dilanjutkan oleh Baskoro Tedjo, pendiri firma arsitektur Baskoro Tedjo & Associate sekaligus pengajar di Prodi Arsitektur ITB. Pada kesempatan itu, dia menguraikan lebih dalam mengenai definisi dan teori seputar kritik. “Arsitek itu sudah fitrahnya membuat kesalahan,” ujarnya.

Desain arsitektur terkadang menjadi suatu tantangan tersendiri karena apa yang dihadapi dalam desain cenderung berbeda dari internalized knowledge, yaitu kerangka berpikir atau ilmu yang diperoleh dari proses akademis. Oleh karena itu, fantasi, kreativitas, dan pola berpikir cepat diperlukan bersamaan dengan proses trial and error (pembelajaran dari kesalahan) untuk menghasilkan desain yang baik.

Dalam mengkritisi karya arsitektur sendiri (self-critique), Baskoro Tedjo menjelaskan bahwa terdapat aspek-aspek yang dapat menjadi perhatian, seperti respons tidak terduga dari pengguna, multiinterpretasi terhadap karya, masalah dalam pemeliharaan bangunan, serta kenyamanan dan keamanan. Beberapa karyanya sendiri dia kritisi pada diskusi ini, di antaranya adalah Rumah Segitiga dan Campus Center ITB. Permasalahan utama yang dia hadapi kebanyakan berasal dari perubahan perilaku pengguna bangunannya (unpredictable responses).

Kevin Mark Low, seorang arsitek dari Malaysia yang bekerja di bawah firma arsitektur Small Projects, turut menceritakan pengalaman kegagalannya dalam mendesain. Kevin mengurutkan lima aspek kesalahan desain arsitektur secara prioritasnya, mulai dari operasional, konstruksi, organisasi bangunan, kontekstual desain, hingga estetika. Karya pertamanya yang dia kritisi adalah Windshell Naradhiwas. Pada karya tersebut, Kevin menyadari bahwa ambisi dan fokus perhatiannya pada estetika malah menggagalkan sisinya operasional dari desainnya itu sendiri.

Selanjutnya, pada proyek BritishIndia Headquarters, lagi-lagi Kevin menemukan masalah dalam operasional dan bahkan organisasi bangunannya akibat obsesinya terhadap estetika desain. Pengutamaan estetika pada proyek Cross of the Revival pun membawanya kepada kegagalan dalam memahami konteks kebutuhan desain yang diperlukan.

Pada sesi diskusi, keempat arsitek yang menjadi pembicara dalam diskusi ini masing-masing menekankan kembali bahwa dalam mengkritisi karya arsitektur estetika bukanlah hal yang seharusnya menjadi aspek yang paling dikritisi. Estetika merupakan hal yang dapat dimaknai oleh masing-masing individu secara berbeda. Oleh karena itu, untuk membangun budaya kritik yang sehat, aspek-aspek teknis lain seperti operasional dan organisasi perlu menjadi perhatian utama dalam kritik arsitektur karena standardisasinya yang jelas.

Reporter: Achmad Lutfi Harjanto (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)