MEA 2016: Tantangan dan Peluang bagi Arsitek Indonesia
Oleh Fatimah Larassati
Editor Fatimah Larassati
Ketika berbicara mengenai profesi arsitek, perlu digarisbawahi bahwa arsitek yang terkualifikasi untuk lintas jasa di MEA adalah arsitek profesional yang telah bersertifikasi. Sertifikasi yang diakui di Indonesia sendiri adalah Sertifikat Keahlian (SKA) Arsitek. Sayangnya, dari total sekitar 11.000 arsitek Indonesia, yang telah bersertifikasi SKA kurang dari 50%. Hal ini dinilai dapat menghambat iklim kompetisi arsitek Indonesia di MEA nanti.
Sistem dan tata alur keprofesian seperti hierarki perundang-undangan serta standar dan perizinan juga menjadi sorotan untuk dibenahi. Hal ini dikarenakan selain kompetensi pribadi dari seorang arsitek, sistem dan tata alur keprofesian dibutuhkan untuk mendukung karir arsitek Indonesia di skala internasional. Tak dapat disangkal bahwa sistem dan tata alur keprofesian arsitek di Indonesia dapat dikatakan masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Akibatnya, kolaborasi arsitek Indonesia dengan negara-negara lain masih merupakan hal langka sehingga kurang terbiasa dengan iklim kompetisi internasional.
Meskipun demikian, bukan berarti Indonesia serta merta tidak akan mampu bersaing di MEA dalam bidang keprofesian arsitek. Indonesia punya potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kemampuan individu yang tak kalah dengan arsitek-arsitek lainnya di Asia Tenggara. "Arsitek Indonesia bahkan diakui oleh asing, hanya saja kurang kesempatan untuk unjuk kemampuan," ujar Ahmad Djuhara.
Kekayaan budaya Indonesia juga menjadi aspek 'menjual' di MEA ini. Karya-karya anak bangsa yang unik dan berbeda lahir dari perpaduan nuansa nusantara dan teknologi masa kini. Pembangunan-pembangunan yang sedang digalakkan di Indonesia seperti tol Trans Jawa dan bandara-bandara baru juga menjadi peluang yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.