Karsa Loka Volume 21: Tantangan Standardisasi Cangkul Produksi IKM Lokal
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Penyediaan cangkul sebagai salah satu alat pertanian tradisional telah menjadi isu nasional selama beberapa tahun ke belakang. Kompleksitas penyediaan cangkul dalam negeri yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) masih terjadi.
Topik itulah yang menjadi bahasan pokok dalam webinar Karsa Loka Volume 21 bertajuk “Inovasi Produk Cangkul untuk Memenuhi SNI: Studi Kasus IKM Pandai Besi Desa Mekarmaju Kabupaten Bandung” pada Jumat (23/9/2022). Webinar yang diadakan oleh LPPM ITB ini menghadirkan Dr. Eng. Akhmad Ardian Korda, M.T., dari Teknik Metalurgi FTTM ITB sebagai pembicara.
“Cangkul itu meskipun kita anggap sepele ternyata tidak semudah itu juga dibuat, karena dia berbeda dengan baja-baja yang kita temui sehari-hari. Boleh saya katakan bahwa bahan dari cangkul ini sendiri tidak dibuat bahkan oleh industri baja terbesar di Indonesia,” kata Dr. Korda mengawali paparan.
Melalui LPPM ITB, Korda bersama tim melakukan pengabdian masyarakat di Desa Mekarmaju sebagai desa binaan mulai tahun 2015. Pada fase awal pengabdian, mereka melakukan pemetaan terhadap produk-produk perkakas tangan hasil karya pandai besi Desa Mekarmaju.
Kualitas Cangkul Lokal Lebih Baik dari Produk Impor
Hasilnya menunjukkan bahwa cangkul hasil produksi Industri Kecil Menengah (IKM) Mekarmaju memiliki kekerasan yang berbeda di tiap bagiannya, berbeda dengan cangkul impor yang kekerasannya seragam. Bagian dalam cangkul memiliki kekerasan yang lebih rendah daripada bagian pemotong luar sehingga berpotensi memiliki kualitas yang lebih baik.
Mengacu pada SNI 0331:2018, kekerasan cangkul harus memenuhi standar tiap kelas peruntukan, baik kelas A untuk bidang pertanian maupun kelas B untuk nonpertanian. Aspek ini dipengaruhi oleh komposisi kimia dan struktur mikro dari baja sebagai bahan baku, sedangkan hal semacam ini tidak pernah diketahui oleh para pandai besi.
Berangkat dari masalah tersebut, tim LPPM ITB memperkenalkan metode quench hardening kepada pelaku IKM Mekarmaju. Quench hardening dilakukan dengan memanaskan baja karbon pada suhu tinggi (temperatur austenisasi). Metode quench hardening hanya akan optimal digunakan untuk bahan baku medium carbon steel dengan kandungan karbon antara 0,25%-6%. Jenis bahan ini digunakan karena sifatnya yang sensitif terhadap perlakuan panas.
Nyatanya, pengujian terhadap sampel cangkul produksi IKM Mekarmaju ada yang sudah mencapai kelas A, namun menggunakan sambungan pada daun cangkulnya. Penggunaan sambungan menyebabkan ongkos produksi naik dan laju produksi lebih lambat. Kemudian tim LPPM bersama BUMN yang ditunjuk Kementerian Perindustrian berusaha mencari bahan baku pelat yang tepat agar produksi cangkul tidak memerlukan sambungan.
“Harapannya bagaimana kita dapatkan bahan baku cangkul yang tidak perlu dilas sambungannya tetapi masuk kelas A. Dari sini ternyata bahan bakunya sulit. Kita sudah mencari beragam bahan baku yang tersedia, baik yang dari impor maupun lokal. Tapi kemudian tidak banyak yang bisa mencapai target kelas A, itu yang jadi masalah. Sehingga akhirnya kita mengambil kesimpulan dari bahan baku masih terkendala,” ujar Korda
Terlepas dari masalah kelangkaan bahan baku, kualitas cangkul IKM Mekarmaju sudah mencapai kelas A maupun B. Hal ini menunjukkan bahwa cangkul produksi lokal lebih baik daripada cangkul impor yang rata-rata hanya sampai pada kelas B. Kemandirian bahan baku menjadi fokus utama bagi tim LPPM ITB maupun pihak pemerintah yang terlibat agar proses produksi cangkul lokal dapat dilakukan seefisien mungkin.
“Pada dasarnya dari mutu kita sudah selesai melakukan pembinaan dan nyatanya sudah tercapai di kelas A, apalagi kelas B. Tetapi pada saat harus di-SNI-kan, masalahnya menjadi lebih kompleks karena terkait dengan manajemen produksi dan seterusnya. Target untuk mencapai SNI itu menjadi tantangan, dan hal itu masih merupakan kerja keras untuk ke depannya.”
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)